Perjuangan Henny Silalahi dan Rudianto Simanjorang Selamatkan Debora Hingga Ajal Menjemput

HENNY Silalahi masih merasa berat mengenang perjuangannya bersama sang suami, Rudianto Simanjorang, yang berjuang mati-matian menyelamatkan putri bungsunya bernama Tiara Debora Simanjorang. Ya, mereka harus merelakan sang putri terkapar tak bernyawa di ruang IGD Rumah Sakit Mitra Keluarga Kalideres, Jakarta Barat, Minggu 3 September 2017.

Perasaan duka masih menyelimuti hati pasangan Henny dan Rudianto saat berada di Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Senin 11 September 2017. Dengan sabar, keduanya kembali menceritakan kronologi bayi mungilnya yang baru berusia empat bulan kini telah tiada di hadapan para awak media.

Ya, seperti diketahui Debora meninggal dunia diduga lantaran lambannya pelayanan kesehatan lantaran keterbatasan dana orangtuanya. Henny menceritakan kegagalan perjuangannya menyelamatkan sang putri karena pihak rumah sakit tak bersedia menangani Debora. Hal ini karena uang muka yang harus dibayarkan terlebih dahulu sebesar Rp19.8 juta.

Kisah pilu ini diunggah oleh seorang pria bernama Birgaldo Sinaga dalam akun Facebook miliknya. Kamis, 7 September 2017, lalu ia menceritakan kisahnya kepada Birgaldo. Henny mencurahkan isi hatinya berharap tak ada lagi kejadian serupa yang dialami orang lain.

Dari penuturan Henny, Debora sempat mengalami flu disertai batuk. Ia sempat membawa si kecil ke rumah sakit daerah di Cengkareng, Jakarta Barat, mengingat jejak rekam medis Debora berada di situ.

Lantaran kondisi yang tak kunjung membaik, ditambah Debora sempat mengalami sesak napas, Henny membawa sang putri ke RS Mitra Keluarga Kalideres. RS Mitra Keluarga dipilih karena dianggap paling dekat dengan tempat tinggal Debora.

Tiba di instalasi gawat darurat rumah sakit tersebut, Debora langsung ditangani dokter jaga IGD. Kala itu, dokter yang diketahui bernama Irene tersebut memberi Debora pertolongan pertama berupa obat pengencer dahak. Setelah didiagnosis, dokter Irene menyebut bila Debora harus segera dibawa ke ruang PICU (Pediatric Intensive Care Unit).

Nah, di sinilah masalah lain terjadi. Rupanya sebelum Debora masuk ke ruang PICU, Henny dan Rudianto diharuskan membayar uang muka sebesar Rp19.8 juta.

“Saya sempat bertanya, apakah rumah sakit ini menerima BPJS. Namun, ternyata tidak bisa karena katanya belum bekerja sama. Ya sudah, saya akan bayar tunai tidak apa-apa, kata saya. Petugas administrasinya bilang, kalau enggak ada uang muka, tidak bisa,” kata Henny.

Mengingat jumlah uang yang dibayar cukup besar, sang suami bergegas pulang, lalu mengambil uang di ATM sebesar Rp5 juta. Ia berpikir, dalam kondisi darurat, ia berharap pihak rumah sakit bisa mengerti keadaan keluarganya.

“Begitu saya memberi uang Rp5 juta, petugas administrasi sempat mengitung kembali uang tersebut, lalu dia bilang, ‘Saya pegang dulu uangnya, saya tanya atasan dulu.’ Kemudian, saya dipanggil lagi oleh petugas administrasi, dia bilang uang sebesar itu tidak cukup untuk bisa masuk ruang PICU. Itu adalah kebijakan rumah sakit, katanya. Saya sempat menemui dokter IGD yang bersangkutan atas kebijakan ini namun dokter bilang taka da wewenang,” papar Rudianto, yang duduk di sebelah sang istri, kala itu.

Segala macam cara pun dilakukan Henny. Ia menyuruh Rudi untuk menelpon sanak saudara agar bisa memberikan bantuan. Henny juga berusaha untuk menelepon rekan-rekannya, meminta referensi rumah sakit mana saja yang menerima pasien BPJS dan terdapat ruang PICU di dalamnya. Debora sempat ingin dilarikan ke Rumah Sakit Koja.

Saat Henny dan Rudi sibuk mencari referensi rumah sakit, tiba-tiba seorang suster menghampiri keduanya. Dengan raut wajah panik, Henny dan Rudi kembali ke ruang IGD. Sang dokter yang telah berganti shift mengatakan bahwa anaknya telah tiada.

Tindakan KPAI atas meninggalnya Debora

Atas kejadian tersebut, Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto menyesalkan kejadian meninggalnya Debora. Pihaknya pun memanggil pihak rumah sakit untuk dimintai keterangan secara komprehensif.

“Kami KPAI akan mendalami peristiwa ini dengan menggali informasi terhadap pimpinan RS Mitra Keluarga guna mendapatkan keterangan yang komperhensif,” kata Susanto di Kantor KPAI, Jalan Teuku Umar, Gondangdia, Jakarta Pusat, Senin, (11/09/2017).

Menurut Susanto, negara sebenarnya memilik kewajiban memberikan layanan kesehatan bagi seluruh anak Indonesia meski kondisinya secara ekonomi kurang mampu. Undang-Undang (UU) perlindungan anak juga menegaskan itu.

Selain itu, sambungnya, visi-misi rumah sakit merupakan lembaga sosial yang seharusnya mengedepankan prinsip kemanusiaan. “Jangan sampai layanan kesehatan itu menafikan prinsip kemanusiaan itu,” tuturnya.

Retno Listiarti Komisioner KPAI Bidang Pendidikan menilai, Dinas Kesehatan DKI Jakarta dalam hal ini harus melakukan pengawasan. Menurut dia, rumah sakit mana pun harus mengedepankan sisi kemanusiaan.

Pihak RS Mitra Keluarga akan kasus bayi Debora

Sementara itu, pihak Dinas Kesehatan DKI Jakarta memanggil pihak RS Mitra Keluarga untuk memberikan pertanggungjawabannya atas kasus tersebut. pertemuan dilakukan di Kantor Dinas Kesehatan DKI di bilangan Jakarta Pusat, Senin pagi 11 September 2017.

Tindakan selanjutnya dari kasus ini adalah terbitnya surat pernyataan dari pihak RS Mitra Keluarga. Di mana, surat tersebut harus dijalankan dengan sebenar-benarnya. Adapula isi dari surat pernyataan tersebut mencakup poin-poin berikut yang harus dijalani pihak RS Mitra Keluarga Kalideres

1. Bersedia memberikan pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, antidiskriminasi, dan efektif dengan mengutamakan kepentingan pasien sesuai dengan standar pelayanan Rumah Sakit.

2. Bersedia melaksanakan fungsi sosial dengan pelayanan gawat darurat tanpa meminta uang muka

3. Bersedia melaksanakan sistem rujukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

4. Bersedia mematuhi segala peraturan perundang-undangan yang berlaku terkait pelayanan kepada pasien di Rumah Sakit.

Dalam surat pernyataan tersebut, pihak RS Mitra Keluarga Kalideres menegaskan bahwa apabila melanggar pernyataan itu, maka pihaknya siap menerima konsekuensi berupa pencabutan ijin Rumah Sakit.

Kemudian hal lain yang dilakukan sebagai bentuk pertanggungjawaban pihak RS Mitra Keluarga Kalideres terhadap kelalaian yang telah dilakukan ialah mengganti seluruh biaya yang dikeluarkan pihak keluarga Debora selama perawatan di IGD rumah sakit setempat. Untuk jumlahnya, pihak rumah sakit tidak memberikan informasi.

Selaku Direktur RS Mitra Keluarga Fransisca Dewi mennambahkan, kelalaian yang terjadi adalah pengetahuan terakait keanggotaan keluarga Debora pada BPJS Kesehatan. Di mana, kalau memang seseorang itu menjadi anggota BPJS Kesehatan, maka sebagian biayanya akan ditanggung pemerintah.

’’Kesalahan kami baru mengetahui bahwa Debora ini tercatat sebagai anggota BPJS itu di pagi hari (Minggu, 3 September 2017, Red) setelah Debora sudah diberikan penanganan sejak dini hari (2 September 2017, Red),’’ ungkap Fransisca.

Exit mobile version