Pemerintah Daerah Cianjur Berkomitmen Memenuhi Hak Pendidikan Anak Putus Sekolah

Foto: Humas KPAI, 2024

Cianjur, – Indeks Pembangunan Manusia (IPM) 2023 Kabupaten Cianjur paling rendah se-Jawa Barat yakni 66,55 (BPS Jawa Barat, UHH hasil SP2010, 2023). Salah satu dimensi dalam pengukuran Indeks Pembangunan Manusia (IPM) adalah Pendidikan. Di Kabupaten Cianjur angka anak putus sekolah tinggi yakni sejumlah 367 anak SD/MI dan 186 anak SMP/MTS (Portal satu data Kemdikbudristek, 2023).

Dilatarbelakangi situasi tersebut, KPAI menggelar Focus Group Disscussion (FGD) untuk mengidentifikasi penyebab dan upaya-upaya yang telah dilakukan dalam mengatasi tingginya anak putus sekolah di Kab. Cianjur. 

FGD membahas pemenuhan hak pendidikan bagi anak putus sekolah

FGD menghadirkan Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga (Disdikpora), Dinas Pengendalian Penduduk Keluarga Berencana Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak (DPPKBP3A), Kementerian Agama, Guru dan Perangkat Daerah Kabupaten Cianjur di Kantor Disdikpora pada, Kamis (22/08/2024).

Kepala Bidang Bina SMP Disdikpora Helmi Halimudin dalam sambutannya menyampaikan kondisi pemenuhan hak pendidikan di Cianjur pasca gempa 2022 yang lalu masih belum sepenuhnya maksimal. Hal ini disebabkan beberapa kendala seperti letak geografis yang jauh dengan akses pendidikan. 

Kepala Bidang Bina SMP Disdikpora Helmi Halimudin

Kemudian terkait angka anak putus sekolah, di dunia pendidikan terbagi dalam dua sistem administrasi yakni EMIS (Education Management Information System) yang merupakan sistem data administrasi kependidikan di bawah naungan Kementerian Agama dan juga Dapodik yang merupakan sistem data administrasi kependidikan di bawah naungan Kemendikbudristek.

Helmi mengatakan, angka anak putus sekolah di Kabupaten Cianjur tidak setinggi dengan apa yang tercantum dalam sistem Dapodik. Ia menyebut data anak yang tidak melanjutkan sekolah ke jenjang selanjutnya merupakan data dinamis.

Kami harus akui memang masih ada anak yang putus sekolah, angka anak putus sekolah di Kabupaten Cianjur berdasarkan Dapodik bukan angka statis, bahwasanya tidak melanjutkan sekolah atau putus sekolah ya, kita juga tahu bahwa ada siswa yang meneruskan proses pembelajarannya ke pesantren, lalu ada juga yang pindah domisili ke wilayah lain, tutur Helmi. 

KPAI telah berdialog langsung di 2 Desa yakni Desa Sukamanah dan Desa Wangun Jaya. Dari dialog tersebut, terungkap bahwa penyebab terbanyak Anak putus sekolah di 2 Desa tersebut antara lain setelah lulus SD anak di sekolahkan ke pesantren salafiyah, anak lebih memilih bekerja membantu orang tua, anak mengalami perundungan di sekolah sehingga anak memilih untuk tidak sekolah karena jarak sekolah terutama SMP terlalu jauh yakni 8 km dari tempat tinggal, serta pemahaman yang rendah dari orang tua terkait pentingnya sekolah, tutur Aris Adi Leksono Anggota KPAI sekaligus pengampu klaster pendidikan. 

Aris Adi Leksono Anggota KPAI

Pemenuhan hak anak putus sekolah ini penting diupayakan dengan bersinergi antara Perangkat Daerah seperti DPPKBP3A, Disdikpora, dan Dinas terkait lainnya. Hal ini dimaksudkan agar dapat dilakukan penjangkauan terhadap anak-anak yang putus sekolah dan tentunya harapannya agar dapat menekan angka anak putus sekolah di Cianjur, tegas Aris. 

Hal lain yang harus menjadi perhatian bersama, adalah Indonesia menghadapi situasi darurat Kekerasan di Satuan Pendidikan. Data menyebutkan bahwa 26,9% peserta didik (1 dari 4) berpotensi mengalami hukuman fisik; 36,31% peserta didik (1 dari 3) berpotensi mengalami perundungan; 34,51% peserta didik (1 dari 3) berpotensi mengalami kekerasan seksual (Asesmen Nasional, Kemendikbudristek, 2022). 

Dalam menangani berbagai kasus kekerasan terhadap anak, Helmi menyampaikan bahwa kami bekerjasama dengan Save The Children dalam mencegah kekerasan yang terjadi pada MPLS. Lebih lanjut ia menyampaikan tentang kasus kekerasan anak biasanya terjadi saat pulang sekolah, sehingga luput dari pengawasan sekolah, salah satu upaya yang sudah kami lakukan sudah membentuk satgas PPKSP, kami sangat konsen dengan persoalan pendidikan, tuturnya.

“Meningkatnya jumlah kekerasan terhadap anak di Satuan Pendidikan salah satunya disebabkan oleh pola pengasuhan keluarga yang kurang optimal. Pola pengasuhan memiliki pengaruh besar terhadap perkembangan emosional, psikologis, dan perilaku anak. Pola pengasuhan yang tidak tepat dapat berpotensi meningkatkan risiko kekerasan terhadap anak,” tegas Aris.

Selain itu juga peran guru dan tenaga pendidik sangat penting dalam menangani kekerasan di Satuan Pendidikan sebab Guru memiliki peran yang sangat penting dalam mitigasi dan pencegahan kasus kekerasan di sekolah.

Guru memegang peranan kunci dalam mencegah dan menangani kasus kekerasan di sekolah. Dengan menciptakan lingkungan yang aman, menjadi teladan positif, memberikan pendidikan karakter, dan bekerja sama dengan seluruh komunitas sekolah, guru dapat membantu mengurangi dan mengatasi kekerasan, serta memastikan bahwa sekolah menjadi tempat yang aman dan mendukung untuk pembelajaran dan pertumbuhan bagi semua siswa, kata Aris. 

Berbagai persoalan terkait anak putus sekolah, KPAI harapkan agar tidak menyurutkan semangat berbagai pihak dalam menyelesaikannya, sebab Masa depan yang cerah dimulai dari pendidikan. Dengan terus belajar, dapat membuka pintu untuk lebih banyak kesempatan, keterampilan, dan impian yang bisa dwujudkan. Mari terus bersinergi demi mewujudkan pemenuhan hak pendidikan anak, pungkas Aris. (Kn)

Media Kontak : Humas KPAI Email : humas@kpai.go.id WA. 0811 1002 7727

Exit mobile version