PELAPORAN KEKERASAN TERHADAP ANAK DI YOGYAKARTA RENDAH

Foto: Humas KPAI, 2024

Yogyakarta, — Dalam diskusi bersama pemerintah daerah dan berbagai pemangku kepentingan di Yogyakarta pada, Jumat (20/09/2024), KPAI menyoroti rendahnya tingkat pelaporan kekerasan terhadap anak akibat stigma dan persepsi negatif masyarakat. Sehingga perlu untuk terus memperkuat upaya perlindungan khusus bagi anak-anak korban kekerasan dan anak-anak dengan disabilitas. KPAI menegaskan bahwa pelaksanaan Konvensi Hak Penyandang Disabilitas (UN CRPD) harus diimplementasikan secara lebih komprehensif agar anak-anak disabilitas mendapatkan akses yang layak terhadap pendidikan, kesehatan, dan layanan hukum.

Anggota KPAI, Diyah Puspitarini

Diyah Puspitarini Anggota KPAI saat menghadiri diskusi tersebut, menekankan pentingnya peran serta masyarakat dalam melaporkan kasus kekerasan anak. “Temuan kami menunjukkan bahwa di beberapa daerah, masyarakat masih enggan melaporkan kekerasan karena menganggapnya sebagai aib. Padahal, tanpa laporan, penanganan tidak dapat dilakukan secara optimal. Kami mengajak semua pihak untuk berani melapor demi melindungi hak-hak anak,” tegas Diyah.

Sering kali masyarakat menarik laporan di tengah jalan karena merasa prosesnya rumit atau berpikir masalah sudah bisa diselesaikan secara kekeluargaan. Padahal, kekerasan yang tidak ditangani secara tuntas bisa berpotensi menimbulkan kasus baru, lanjut Diyah

Foto: Humas KPAI, 2024

Pemerintah daerah menyoroti pentingnya peningkatan kapasitas sumber daya manusia (SDM) di pemerintah daerah untuk menangani kasus-kasus ini. “SDM yang ada perlu ditingkatkan baik dari segi kompetensi maupun jumlah, tutur Pj. Bupati Kulon Progo, Srie Nurkyatsiwi.

“Masyarakat perlu lebih diberdayakan melalui edukasi agar tidak merasa enggan melaporkan kekerasan, selain itu juga faktor budaya turut memperkuat persepsi negatif terhadap pelaporan kekerasan,” tambah Srie.

Meskipun Kabupaten Bantul telah mencapai kategori “utama” dalam layanan perlindungan anak secara nasional, tantangan kekerasan anak masih sangat besar. Kasus kekerasan terhadap anak terus meningkat, bahkan bisa jadi angkanya jauh lebih tinggi karena banyak kasus yang tidak dilaporkan, ungkap Sekretaris Daerah Bantul, Agus Budiraharja

“Ini adalah tanggung jawab bersama, dan diperlukan upaya yang lebih intensif untuk menyadarkan masyarakat akan pentingnya perlindungan anak,” ujar Agus.

Sementara itu, Bupati Gunungkidul, Sunaryanta berbicara tentang peran media sosial dan kondisi ekonomi sebagai pemicu kekerasan. “Media sosial memberikan dampak besar, dan masyarakat yang belum mampu beradaptasi sering terjebak dalam masalah ini. Untuk itu, kita perlu menguatkan moral dan mental anak-anak melalui pendidikan yang berlandaskan nilai-nilai agama dan keluarga,” ungkapnya.

Kolaborasi antar pemangku kepentingan menjadi kunci penting dalam mengatasi masalah ini. Pemerintah daerah, lembaga swadaya masyarakat, dan komunitas harus bahu-membahu melindungi anak-anak dari kekerasan, terutama bagi anak-anak dengan disabilitas yang lebih rentan terhadap kekerasan fisik, psikis, dan diskriminasi. 

Dalam lawatannya ke Yogyakarta, Diyah juga menyoroti trend kasus kekerasan fisik dan psikis yang terjadi pada pelajar. Ada pola yang terlihat bahwa kekerasan sering terjadi di awal tahun ajaran baru, biasanya pada Agustus hingga September. Perekrutan anggota baru kelompok dimulai dari sana, dan kekerasan seringkali meningkat di bulan Desember. Mereka mulai menunjukkan identitas kelompok di bulan Januari hingga Maret.

KPAI mengapresiasi pihak Kepolisian Daerah Istiwema Yogyakarta (Polda DIY) terkait penanganan dan pembubaran kasus kejahatan jalanan di Yogyakarta yang dilakukan dengan cara yang persuasif.

Diakhir sesi diskusi disepakati beberapa rekomendasi strategis untuk meningkatkan upaya perlindungan anak di Provinsi D.I. Yogyakarta, di antaranya:

  1. Memastikan anak berada dalam pengasuhan positif di keluarga serta pemerintah memampukan keluarga dalam mejalankan fungsi pengasuhan dalam pemenuhan hak dan menghindarkan anak dari kekerasan dan diskriminasi;
  2. Mengoptimalkan perlindungan anak berbasis siber dan kejahatan transnasional baik melalui pencegahan maupun penanganan, dan mengoptimalkan edukasi literasi digital dengan melibatkan sekolah, keluarga, masyarakat, media dan pihak terkait;
  3. Meningkatkan kualitas layanan rehabilitasi sosial anak;
  4. Aparat penegak hukum, kepolisian, kejaksaan dan hakim pengadilan perlu meningkatkan kualitas hukum yang berperspektif perlindungan anak, baik dalam proses hukum maupun pemenuhan hak restitusi anak korban pidana;
  5. Meningkatkan kualitas forum anak sebagai pelopor dan pelapor (2P) perlindungan anak serta partisipasi anak yang bermakna dalam musyawarah perencanaan pembangunan (Musrembang) di berbagai tingakatan;
  6. Memastikan layanan penanganan dan pemulihan tersedia, dapat diakses dengan cepat, dan berkualitas oleh anak/keluarga. Melalui kebijakan daerah, peningkatan kualitas SDM dan layanan serta dukungan anggaran;
  7. Pemenuhan dan perlindungan hak korban, saksi, keluarga korban dan pelaku anak ditegakkan dalam mekanisme peradilan yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia dan berkeadilan pada korban;
  8. Memastikan strategi pencegahan didesain agar tepat sasaran terutama di keluarga, lembaga pengasuhan, lembaga pendidikan serta melibatkan tokoh agama.

KPAI berharap bahwa dengan kolaborasi yang kuat, tantangan dalam perlindungan anak di Yogyakarta dapat diatasi, dan anak-anak Indonesia, terutama mereka yang berada dalam kondisi rentan, dapat menikmati masa depan yang lebih aman dan terlindungi, pungkas Diyah. (Fz/Ed:Kn)

Media Kontak : Humas KPAI Email : humas@kpai.go.id WA. 0811 1002 7727

Exit mobile version