KPAI : ‘Quo Vadis’ Perlindungan Anak di Sekolah: Antara Norma dan Realita

Dari sisi norma, Indonesia dapat dikategorikan sebagai negara yang memiliki komitmen besar bagi perlindungan anak dalam pendidikan. Komitmen tersebut bukan hanya termaktub dalam undang-undang semata, namun secara eksplisit tercantum dalam UUD 1945.

Pasal 31 ayat (1) menegaskan bahwa “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”. Di pihak lain, konstitusi juga memberikan atensi besar terhadap perlindungan anak dari kekerasan. Pasal 28 B ayat 2 “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.

Menurut konstitusi tersebut, negara memastikan tak boleh ada anak di manapun berada tidak mendapat pendidikan. Di pihak lain, negara juga tak mengizinkan anak Indonesia mendapat tindakan kekerasan dalam bentuk apapun, kapanpun dan di manapun, termasuk di satuan pendidikan.

Begitu tingginya komitmen perlindungan anak dalam pendidikan, UU No. 35 Tahun 2014 atas perubahan UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, secara eksplisit banyak mengurai perlindungan anak dalam pendidikan. Dalam UU tersebut, menyebut kata “pendidikan” 19 Kali, menyebut kata “pendidik” 6 kali, kata “kependidikan” 6 kali, menyebut 2 kali kata “satuan pendidikan”, menyebut 14 kali kata “kekerasan” dan 2 kata “kekerasan di satuan pendidikan”. Sedangkan UU No 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, kata “pendidikan” disebut 10 kali. Sementara dalam Kovensi Hak Anak yang sebagai bentuk komitmen internasional menyebut kata “pendidikan” 12 kali.

UU No. 35 Tahun 2014 atas perubahan UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, pasal 9 ayat 1 secara tegas menyatakan (a), “setiap Anak berhak mendapatkan perlindungan di satuan pendidikan dari kejahatan seksual dan kekerasan yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain”.

Sementara pasal 54 menegaskan bahwa “anak di dalam dan di lingkungan satuan pendidikan wajib mendapatkan perlindungan dari tindak Kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual, dan kejahatan lainnya yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain”.

Meski secara normatif negara telah menunjukkan komitmennya dalam bentuk konstitusi dan regulasi, namun beragam pelanggaran hak pendidikan masih terus terjadi dengan berbagai variasi dan polanya. Tampaknya, kekerasan yang terjadi tak hanya mewujud dalam bentuk kekerasan fisik, seksual, emosional dan kekerasan berbasis dunia maya, namun dalam banyak kasus juga terjadi kekerasan dalam bentuk kebijakan.

Tren Kekerasan terhadap Anak di Sekolah

Indonesia merupakan negara yang mengadapi kekerasan terhadap anak cukup kompleks. Kekerasan di sekolah terjadi dengan berbagai macam bentuk mulai fisik, psikis, hingga seksual. Dalam berbagai bentuk kekerasan itu, anak menjadi korban atau pelaku, atau korban dan sekaligus pelaku. Tawuran, kekerasan saat MOS, dan bullying bahkan menjadi tradisi di sebagian sekolah yang seringkali melibatkan anak secara massif.

Kekerasan terhadap anak di sekolah merupakan persoalan bangsa yang perlu segera dihentikan dan diputus mata rantainya karena terkait langsung dengan pemenuhan hak anak untuk dilindungi oleh negara serta menentukan nasib bangsa di masa mendatang bahkan. Pada saat yang sama kekerasan di sekolah menjadi masalah membutuhkan peran negara untuk menyikapinya secara serius dan sistemik.

Adalah suatu fakta bahwa usia sekolah merupakan korban cukup besar dari kasus kekerasan yang ada. Tak jarang anak usia sekolah bukan hanya menjadi korban tetapi juga menjadi pelaku kekerasan. Data pengaduan KPAI Tahun 2015, menunjukkan bahwa anak korban kekerasan sebanyak 127 siswa, sementara anak menjadi pelaku kekerasan di sekolah 64 siswa. Anak korban tawuran 71 siswa, sementara anak menjadi pelaku tawuran 88 siswa.

Di pihak lain, hasil riset global Ispsos bekerjasama dengan Reuters, menempatkan kasus bullying sebagai masalah serius. Sebanyak 74% responden dari Indonesia menunjuk Facebook sebagai media tempat terjadinya cyberbullying. Korban cyberbullying umumnya anak usia sekolah.

Plan International dan International Center for Research on Women (ICRW) melaporkan bahwa terdapat 84% anak di Indonesia mengalami kekerasan di sekolah. Angka tersebut lebih tinggi dari tren di kawasan Asia yakni 70%. Riset ini dilakukan di 5 negara Asia, yakni Vietnam, Kamboja, Nepal, Pakistan, dan Indonesia yang diambil dari Jakarta dan Serang, Banten.

Selain itu, data dari Badan PBB untuk Anak (Unicef) menyebutkan, 1 dari 3 anak perempuan dan 1 dari 4 anak laki-laki di Indonesia mengalami kekerasan. Data ini menunjukkan kekerasan di Indonesia lebih sering dialami anak perempuan

Ragam data terkait kekerasan terhadap anak usia sekolah dapat menjadi catatan kritis. Namun jumlah tersebut sejatinya merupakan fenomena gunung es dan belum merepresentasikan fakta kekerasan yang sesungguhnya terjadi di lingkungan satuan pendidikan. Karena tak semua kasus kekerasan terdata, terlaporkan dan tertangani oleh lembaga layanan, sehingga datanya belum terakumulasi secara nasional.

Bentuk kekerasan di sekolah cukup beragam. Trend kasus kekerasan di sekolah yang ditangani Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) meliputi: kekerasan fisik, seksual verbal, psikis dan cyber bullying.

Bentuk kekerasan fisik meliputi: tawuran, dipukul, ditempeleng, ditendang, dijewer, dicubit, dilempar dengan benda-benda keras, dijemur dibawah terik sinar matahari serta diminta lari mengelilingi lapangan.

Sedangkan bentuk kekerasan seksual berupa: perlakuan tidak senonoh dari orang lain, kegiatan yang menjurus pada pornografi, perkataan-perkataan porno dan tindakan pelecehan organ seksual, perbuatan cabul dan persetubuhan pada anak, tindakan mendorong atau memaksa anak terlibat dalam kegiatan seksual serta eksploitasi anak menjadi korban prostitusi.

Kekerasan emosional meliputi: mengancam, menakut-nakuti, menyinggung perasaan, merendahkan martabat, mendiamkan, mengucilkan, memelototi, dan mencibir. Di lain pihak kekerasan verbal yang seringkali terjadi meliputi: memaki, menghina, menjuluki, meneriaki, mempermalukan di depan umum, menyoraki dan mencandai bermuatan fitnah.

Sedangkan cyber bullying yang terjadi meliputi menyebar gosip via jejaring sosial, mempermalukan, mengancam via facebook, kalimat verbal bermuatan seksual serta merendahkan. Tindakan ini dilakukan tidak hanya sekali, berkali-kali, bahkan sering atau menjadi sebuah kebiasaan.

Tawuran hingga kini masih menjadi persoalan kompleks. Pemicu munculnya tawuran antar pelajar tak jarang merupakan hal sederhana seperti seperti saling ejek, berpapasan di bus, pentas seni, setelah salat Jumat, setelah ujian, atau pertandingan sepak bola. Tawuran juga dipicu oleh saling ejek di jejaring sosial. Sungguh menyedihkan, jika kemudian hal yang sedemikian rupa menjadi sebab-musabab tindakan anarkis berupa tawuran yang berujung pada meninggalnya korban.

Di pihak lain, hal mendasar yang memicu munculnya peristiwa tawuran antar pelajar diantaranya melemahnya budi pekerti, melemahnya kecerdasan emosional, dan belum efektifnya pendidikan karakter. Kondisi ini kemudian mendapatkan pembenarannya melalui budaya senioritas (kakak kelas adalah subyek yang superior dan adik kelas adalah obyek yang inferior) dan tradisi bermusuhan yang diwariskan secara turun-temurun oleh senior kepada yuniornya, oleh ‘alumnus’ (kepanjangan dari “alumni yang tidak lulus”, sebutan untuk mantan siswa yang pindah sekolah), bahkan oleh alumni yang sesungguhnya.

Hal lain yang juga menjadi pemicu langgengnya tawuran adalah adanya keterlibatan lingkungan sekitar yang permisif sebagai tempat penitipan benda-benda tawuran atau tempat ngumpul anak-anak, ketidaksiagaan aparat keamanan, kecanggihan teknologi informasi, serta kemungkinan adanya kepentingan bisnis di balik wacana penggabungan dan pemindahan sekolah yang berlokasi di tempat strategis.

Munculnya ragam kekerasan di sekolah tampaknya menimbulkan ketakutan bagi orangtua. Hasil survei KPAI tahun 2015 di 33 provinsi terhadap responden 800 keluarga di 33 provinsi di Indonesia ditemukan bahwa sebanyak 52% ibu sangat khawatir anaknya menjadi korban kekerasan di sekolah. Kekhawatiran dari para orangtua tersebut memang cukup berlasan, mengingat banyak kasus terjadi di lingkungan pendidikan, baik negeri, swasta bahkan sebagian kasus juga terjadi di sekolah berbasis agama.

Sekolah Minus Perlindungan Anak

Beragam masalah munculnya kekerasan di sekolah dipicu oleh beragam faktor. Faktor dominan yang cukup berpengaruh meliputi; sistem manajemen, mindset pendidik dan tenaga kependidikan, norma sekolah, pola pendisiplinan serta kultur di sekolah.

Grafik Faktor Pemicu Kekerasan di Sekolah

Pertama, sistem manajemen. Sistem manajemen merupakan pilar utama yang sangat berpengaruh bagi kualitas perlindungan anak di sekolah. Apalagi dalam sistem manajamen mencakup perencanaan, pengendalian hingga pengambilan keputusan. Dalam banyak kasus, kekerasan dan diskriminasi dipicu oleh bangunan sistem yang dianut oleh suatu sekolah.

Gaya kepemimpinan merupakan bagian dari komponen sistem dimaksud. Gaya kepemimpinan otoriter seringkali memicu perilaku kekerasan baik dilakukan oleh guru, kepala sekolah, tenaga keamanan maupun anak. Di pihak lain, gaya kepemimpinan yang permisif berpotensi melakukan pembiaran terhadap perilaku kekerasan yang muncul di lingkungan sekolah, baik kekerasan dalam proses pembelajaran, kegiatan ekstra maupun kegiatan kekerasan yang terjadi dalam kegiatan intra sekolah.

Anak menjadi korban bully seringkai dianggap hal biasa untuk dunia anak, padahal secara prinsip bully tak boleh hadir dalam dunia pendidikan. Longgarnya bullying tumbuh di sekolah tak jarang terkondisikan oleh pola manajemen yang permisif.

Kedua, mindset tenaga pendidik dan kependidikan. Terminologi mindset terdiri dari dua buah kata, yaitu mind dan set. “Mind” adalah pemikiran, atau bisa disebut sebagai sumber kesadaran yang dapat menghasilkan pikiran, ide, perasaan, dan persepsi, dan dapat menyimpan memori dan pengetahuan. Sedangkan “set” adalah keadaan utuh atau mendahulukan peningkatan kemampuan dalam suatu kegiatan. Dengan demikian, mindset adalah sekumpulan kepercayaan dan cara berpikir yang dapat menentukan pandangan, perilaku, sikap, dan juga masa depan seseorang.

Mindset mengendalikan sikap yang dimiliki seseorang untuk menentukan respons dan pandangan terhadap sebuah situasi. Seseorang melakukan sesuatu karena didorong dan digerakkan oleh pola pikirnya. Tenaga pendidik dan kependidikan yang melakukan kekerasan seringkali didorong oleh cara berfikir dan keyakinan yang melekat pada dirinya.

Tak sedikit guru mencubit siswa dipandang sebagai bentuk pendidikan bukan kategori pelanggaran. Masih banyak guru yang menghukum siswa hingga sakit dianggap hal wajar bukan pelanggaran prinsip pendidikan. Padahal tak ditemukan dalam seluruh peraturan penyelenggaraan pendidikan, mulai dari undang-undang hingga peraturan teknis yang mengizinkan tenaga pendidik dan kependidikan melakukan tindakan kekerasan.

Ketiga, norma sekolah. Kata norma berasal dari bahasa Belanda norm, yang berarti pokok kaidah, patokan, atau pedoman. Dalam Kamus Hukum Umum, kata norma atau norm diberikan pengertian sebagai kaidah yang menjadi petunjuk, pedoman bagi seseorang untuk berbuat atau tidak berbuat, dan bertingkah laku.

Dalam konteks sekolah, norma bisa dalam bentuk tertulis maupun tak tertulis. Norma tertulis seperti tata tertib atau kebijakan lain yang mengingat semua warga sekolah termasuk siswa. Sementara norma yang tak tertulis bisa dalam bentuk yang bermacam-macam, baik terkait dengan etika, maupun pendisiplinan di sekolah.

Ragam kekerasan di sekolah tampaknya tak jarang dipicu oleh norma yang ada. Fatalnya, seringkali norma bersifat given, siswa tak dilibatkan dalam penyusunan sehingga perspektif norma berdasarkan tafsir tunggal kepala sekolah, guru atau guru BK, bukan tafsir bersama. Akibatnya anak dalam posisi lemah dan dilemahkan oleh norma.

Anak mendapat kekerasan dalam masa orientasi siswa baru tak jarang dipicu oleh norma yang tak tertulis. Anak diejek, dipermalukan, dipukul tak jarang dipandang sebagai hal yang lazim, meski sejatinya tak senafas dengan perlindungan anak. Fatalnya, korban juga tak menyadari bahwa apa yang dirasakan bukan sebagai bentuk pelanggaran, namun sebagai sebagai hal yang patut.

Keempat, pendisiplinan. Pendisiplinan adalah usaha untuk menanamkan nilai agar subjek memiliki kemampuan untuk menaati sebuah peraturan. Dalam prakteknya, pendisiplinan berbentuk corporal punishment yaitu adalah hukuman yang menimbulkan penderitaan yang dilakukan dengan sengaja dengan maksud untuk mendisiplinkan atau memperbaiki/mengubah perilaku dari sesorang yang melakukan kesalahan.

Corporal punishment terbagi atas tiga tipe utama. Pertama, parental corporal punishment, merupakan kekerasan atas nama pengasuhan di lingkup keluarga. Kedua, school corporal punishment, misalnya kekerasan atas nama pendisiplinan di sekolah. Ketiga, judicial corporal punishment, misalnya tindakan kekerasan nama koridor hukum yang ada.

Paradigma school corporal punishment, telah mengakar dalam dunia pendidikan. Padahal secara prinsip kekerasan tak bersenyawa dengan dunia pendidikan. Guru dengan alasan mendisiplinkan seringkali men-sahih-kan memukul tangan dengan penggaris, menjambak rambut karena terlalu panjang, menyuruh push up karena terlambat, menampar kepala karena tak dapat membaca dengan lancar.

Mereka berpandangan bahwa guru berhak menentukan bentuk punishment yang dipilih. Fatalnya, hukuman fisik dipandang sebagai cara ampuh untuk menyadarkan murid dan mencapai tujuan pendidikan dan menyiapkan generasi emas, bukan untuk menyakiti.

Ikhtiar Pencegahan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “pencegahan” diartikan sebagai proses, cara, tindakan mencegah atau tindakan menahan agar sesuatu tidak terjadi. Dengan demikian, pencegahan merupakan tindakan. Pencegahan identik dengan perilaku.

Problematika kekerasan terhadap anak di sekolah harus segera diakhiri. Negara, pemerintah dan seluruh elemen penyelenggara perlindungan anak, perlu melakukan langkah segera untuk mengatasinya.

Pertama, tingginya angka kekerasan terhadap anak di sekolah menunjukkan tingginya pelanggaran hak anak. Negara dalam hal ini perlu langkah segara agar kekerasan dapat diakhiri. Upaya strategis yang perlu dilakukan adalah penerbitan peraturan minimal peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang bersifat imperatif untuk mencegah terjadinya kekerasan di satuan pendidikan.

Kedua, khittah sekolah sebagai lembaga pendidikan sarat dengan penyemai nilai-nilai luhur. Namun tampaknya dewasa ini tak jarang tergerus oleh paradigma persekolahan yang kering dengan nilai, namun penuh dengan target-target dan beban. Hakikat pendidikan telah bergeser menjadi persekolahan.

Akar kekerasan tak dicerabut, seringkali fokus pada hilir dan lupa pada hulu. Maka manajemen sekolah berbasis perlindungan anak perlu segera menjadi kebijakan nasional.

Ketiga, kekerasan terhadap anak di sekolah selama ini masih kurang mendapat perhatian dari para stakeholder pendidikan, jauh berbeda dengan perhatian
terhadap pencapaian prestasi akademik atau pemenuhan sarana dan prasarana fisik. Padahal, dampak kekerasan sangat serius terhadap anak. Oleh karena itu, pendekatan manajemen sekolah harus holistik dan didekati dengan berbagai perspektif, tidak hanya berorientasi akademik, tetapi juga penguatan keterampilan karakter serta memastikan perlindungan anak terwujud di semua sekolah.

Ketersediaan norma ramah anak, penguatan perspektif tenaga pendidik dan kependidikan tentang perlindungan anak, pelibatan anak dalam perumusan norma sekolah serta budaya ramah anak diantara indikator dasar upaya pemastian perlindungan anak dioperasionalkan di lingkungan sekolah.

Keempat, pendisiplinan anak seringkali justru menjadi referensi bagi anak untuk melakukan hal yang sama pada teman sebayanya atau kepada yang lebih muda. MOS yang penuh kekerasan adalah salah satu bukti konkretnya. Pengalaman menjadi korban kekerasan dapat mendorong anak menjadi pelaku kekerasan, dari yang ringan hingga menjadi anak yang berhadapan dengan hukum (ABH).

Merujuk pada pendapat Sigmund Freud, anak akan memperlakukan orang lain di masa dewasa seperti ketika ia diperlakukan orang lain pada masa anak-anak Dengan demikian, pengembangan disiplin positif perlu segera dikembangkan di seluruh sekolah agar tradisi kekerasan terbungkus pendisiplinan tak lagi mengakar dalam dunia pendidikan.

Kelima, otonomi daerah dan otonomi sekolah merupakan tantangan tersendiri dalam upaya penghapusan kekerasan di sekolah secara nasional. Dalam banyak kasus masalah kekerasan di wilayah atau sekolah tertentu tidak bisa disentuh dan diselesaikan karena pemaknaan otonomi ini. Bahkan tidak jarang anak korban kekerasan, khususnya kekerasan seksual, mengalami perlakuan diskriminatif dan kekerasan-kekerasan yang lain, justru oleh sekolah atau pemegang otoritas kebijakan pendidikan di daerahnya. Dengan demikian, penerbitan peraturan daerah yang berwawasan perlindungan anak perlu segera dilakukan agar tak ada celah sekecilpun penyelenggara pendidikan melakukan kekerasan dan diskriminasi terhadap anak usia sekolah.

Keenam, banyaknya tayangan televisi, film dan gambar yang memuat konten kekerasan membuat anak belajar kekerasan setiap saat. Kemajuan teknologi informasi sangat memudahkan anak mengakses konten kekerasan, demikian pula game on-line banyak mengeksploitasi kekerasan. Semua ini sudah menjadi konsumsi anak sejak usia dini. Oleh karena itu, Komisi Penyiaran Indonesia dan Pemerintah perlu memaksimalkan proteksi agar anak tak menjadi korban dari bisnis yang bemuatan kekerasan.

Ketujuh, tingginya tingkat kesibukan orangtua dewasa ini cenderung menyebabkan lembaga pendidikan sebagai pelaksana sub kontrak pendidikan anak. Sementara posisi orang tua sendiri tak lebih sekadar berfungsi sebagai penyandang dana. Keadaan ini menyebabkan anak kurang mendapatkan perhatian di rumah, dan menanggung beban berat di sekolah, yang memicu mudahnya anak tersulut melakukan kekerasan. Oleh karena itu, sinergi orangtua dan sekolah perlu dimaksimalkan agar tumbuh kembang anak dapat terfasilitasi, terpantau dan terkontrol dengan baik.

*) Susanto adalah Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)

Exit mobile version