Dari komunikasi Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Retno Listyarti, dengan ayah dari ananda AQA anggota Paskibra Kota Tangerang Selatan (Tangsel) yang meninggal dunia pada 1 Agustus 2019 terungkap adanya dugaan kekerasan yang dialami korban dan kawan-kawan satu timnya selama menjalani pelatihan. Adapun uraiannya adalah sebagai berikut :
- Menurut ayahanda dari Ananda AQA, anaknya pelatihan Paskibra sejak 9 Juli 2019 dan dijadwalkan selama lebih dari 1 bulan sampai hari H, yaitu dalam upacara peringatan Hari Kemerdekaan RI di halaman kantor Walikota Tangerang Selatan (Tangsel) pada 17 Agustus 2019.
Menurut sang ayah –yang semasa sekolah juga pernah menjadi pasukan pengibar bendera–, jadwal pelatihan setiap hari termasuk hari sabtu dan minggu, kecuali hari Jumat. Karena lokasi pelatihan cukup jauh, dari rumah AQA—sekitar 15 km–, maka ananda AQA berangkat setiap hari pukul 05.00 wib untuk menjalani pelatihan mulai pukul 06.00 s.d. 17.00 wib, sekitar 10 jam sehari. - Menurut orangtua, ada kejanggalan dalam sistem pelatihan Paskibra kota Tangerang Selatan, misalnya ada kegiatan ketahanan fisik berlari setiap hari dengan kewajiban membawa beban dipunggung berupa ransel yang berisi 3 kilogram pasir, 3 liter air mineral dan 600 liter air teh manis. Hal ini tak lazim, karena dalam proses penyiapan fisik olahraga lari keliling lapangan adalah hal biasa, tetapi jika berlari dengan membawa beban dipunggung seberat itu, tidak lazim dalam suatu pelatihan bagi paskibra. Kebetulan, kedua orangtua AQA juga mantan pasukan paskibra saat masih SMA.
- Kekerasan tidak dibenarkan dalam peraturan perundangan manapun di Indonesia, siapapun pelaku kekerasan wajib ditindak tegas sesuai peraturan perundangan yang berlaku, agar ada efek jera dan agar tidak ada korban lagi. Mengingat proses pelatihan paskibra kota Tangerang Selatan ada dugaan terjadi kekerasan fisik, maka Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mendorong Pemerintah Kota Tangerang Selatan untuk melakukan evaluasi total terhadap pelatihan paskibra kota Tangsel, terutama para pelatihnya yang diduga melakukan tindakan kekerasan fisik dan kemungkinan juga kekerasan psikis, seperti :
(a) AQA mengaku pernah ditampar seniornya saat menjalani pelatihan paskibra di kota Tangsel;
(b) AQA mengaku pernah diperintahkan makan jeruk sekulit-kulitnya saat mengikuti pelatihan paskibra di kota Tangsel, hal ini tentu berpotensi membahayakan kesehatan pencernaan seorang anak;
(c) AQA mengaku pernah diperintahkan melakukan push up dengan mengepal tangan saat dihukum akibat tim nya melakukan kesalahan saat pelatihan, sehingga menimbulkan luka pada tangannya;
(d) AQA mengaku diminta mengisi buku diary setiap hari, ditulis tangan, dijadikan PR yang harus dikumpulkan setiap pagi, harus ditulis berlembar-lembar pula,
(e) AQA mengaku ada 4 temannya yang tidak mengumpulkan buku diary, kemudian berimbas pada perobekan buku diary satu tim AQA, lalu diperintahkan untuk menulis kembali dari awal dengan tulisan tangan, hal ini sempat dikeluhkan AQA karena dia sangat kelelahan menulis kembali diary yang disobek oleh senior nya tersebut.
(f) AQA mengaku diperintah berlari keliling lapangan dengan membawa tas ransel berat yang berisi 3 kg pasir, 3 liter air mineral dan 600 ml teh manis.
Kekerasan dalam bentuk apapun dan dengan tujuan apapun tidak dibenarkan. Kekerasan tidak diperkenankan juga meski dengan alasan untuk mendidik dan mendisiplinkan.
Kekerasan Fisik juga tidak ada hubungannya dengan ketahanan fisik, jadi sulit dipahami akal sehat ketika pasukan pengibar bendera dilatih dengan pendekatan kekerasan dan bahkan dilatih ketahanan fisik dengan berlari membawa beban berat di punggungnya, apalagi anggota Paskibra tersebut semuanya masih usia anak.
Meskipun orangtua AQA tidak melaporkan kasus meninggalnya ananda AQA ke kepolisian, namun polisi sudah berinisiatif mendatangi keluarga AQA. Bahkan tidak hanya Polres Kota Tangsel, namun pihak Polda Metro Jaya pun mendatangi pihak keluarga guna meminta keterangan dan bahkan pada kesempatan tersebut, pihak keluarga juga menyerahkan alat bukti berupa buku diary dan ponsel ananda AQA untuk proses pemeriksaan pihak kepolisian
KPAI Dorong PEMKOT TANGSEL Bentuk Tim Investagasi
KPAI mendukung proses hukum ditegakan, namun yang tak kalah penting adalah sikap dan tindakan pemerintah Tangsel terhadap kasus ini.
Pemerintah kota Tangsel semestinya tidak tinggal diam, namun segera membentuk tim investigasi bentukan Walikota Tangsel yang akan melakukan investigasi dalam proses pelaksanaan pelatihan Paskibra kota Tangsel, apakah sesuai rundown acara, apakah SOP dipatuhi, apakah ada pengawasan pihak yang memiliki kewenangan dan tanggungjawab, setelah kematian ananda AQA apakah ada evaluasi kegiatan pelatihan Paskibra kota Tangsel, dan lain sebagainya.
Untuk membahas hal itu, KPAI akan bersurat resmi kepada Walikota Tangsel untuk memfasilitasi rapat koordinasi guna membahas dan mencari solusi kasus kematian ananda AQA agar tidak terulang, dan sekaligus mengevaluasi pelaksanaan pelatihan Paskibra kota Tangsel. KPAI mengajukan usulan rapat koordinasi tersebut pada Selasa, 13 Agustus 2019 di kator Walikota Tangsel.
Rapat koordinasi akan didorong untuk mengundang OPD terkait di kota Tangsel, seperti Dinas Olahraga dan Pemuda beserta tim pelatih Paskibra Kota Tangsel, Dinas Pemberdayaaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), P2TP2A, dan Inspektorat Kota Tangsel.
KPAI juga akan meminta Pemkot Tangsel mengundang perwakilan Kemenpora RI, Dinas Pendidikan Provinsi Banten, dan SMA Al Azhar Tangsel. KPAI juga meminta orangtua ananda AQA dihadirkan dalam rapat koordinasi tersebut sehingga rakor terwakili oleh semua unsur. Apalagi orangtua AQA juga ingin bertemu Walikota Tangsel, Airin.
Demikian disampaikan oleh Retno Listyarsi Komisioner KPAI Bidang Pendidikan diJakarta.