KPAI MENCATAT SEJUMLAH 37 ANAK MENGAKHIRI HIDUP DARI BULAN JANUARI-NOVEMBER 2023

FGD Peran negara dalam kasus anak menyakiti dirinya dan mengakhiri hidup (28/11/2023)

Jakarta, – Angka anak mengakhiri hidup terus meningkat. KPAI mencatat selama Bulan Januari – November 2023 terdapat 37 aduan kasus mengenai anak mengakhiri hidupnya. Kasus tersebut terjadi pada usia rawan (kelas 5 – 6 SD), Kelas 1 atau 2 SMP, kelas 1 atau 2 SMA. Polanya ada di usia rawan dan di usia yang mengalami perubahan dari SD ke SMP dan SMP ke SMA. Kasus anak mengakhiri hidup menjadi menjadi penyebab kematian terbesar ketiga, pertama adalah kecelakaan di jalan raya, kedua, penyakit, dan ketiga kekerasan yang bisa memicu anak mengakhiri hidupnya. 

Untuk itu, KPAI gelar pertemuan Focus Group Discussion  pada, Selasa (28/11/2023) terkait peran Negara dalam menyikapi tingginya angka anak menyakiti diri dan mengakhiri hidup di Indonesia. FGD tersebut dibuka secara langsung oleh Ketua KPAI Ai Maryati Solihah dan dihadiri oleh narasumber Anggota KPAI Diyah Puspitarini, Direktur Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan Vensya Sitohang, Anisia Kumala Psikolog Anak UHAMKA, serta dimoderatori oleh jurnalis senior Kompas Sonya Helen Sinombor. Serta dihadiri peserta lintas sektor terkait.  FGD tersebut dalam rangka mengingat pentingnya pengawasan yang komprehensif untuk melihat dan memetakan situasi permasalahan kasus ini secara langsung.

Dalam sambutannya, Ai menyampaikan bahwa KPAI bersama mitra strategis berkoordinasi dan bersinergi dalam menangani anak-anak yang mengakhiri hidupnya. Lebih lanjut Ai menyampaikan keprihatinannya terhadap fenomena tersebut, untuk itu Negara harus menguatkan apa sesungguhnya akar dari persoalan ini, juga pergeseran budaya masyarakat dimulai dari setahun lalu anak-anak melaksanakan PJJ, kemudian saat ini memasuki interaksi normal dengan situasi pembiasaan dengan sesama dengan lingkungan sosial, apakah ada situasi yang hilang atau karakter building yang hilang,, misalnya saling ejek kemudian pada fase tertentu saling melukai, namun bagaimana dengan hati tidak ada yang tahu.

Dalam Rancangan Teknokratik RPJMN 2020-2024 disampaikan bahwa tantangaan hari ini adalah kesehatan jiwa. Sehingga tentu FGD ini menjadi langkah dan juga sebagai ruang yang strategis untuk menemukenali kenapa ini terjadi kemudian membangun kerangka perlindungan anak sebab situasi perlindungan khusus anak tidak se-sistematis pemenuhan hak anak, tantangan terbesarnya adalah sejauhmana anak menjadi pelaku/korban dengan ditarik mengapa disektor hilir terjadi peristiwa tersebut dan angkanya tinggi, tegas Ai. 

Perilaku menyakiti diri sendiri, upaya serta keinginan mengakhiri hidup merupakan masalah kesehatan mental global yang utama karena frekuensi dan tingkat keparahannya yang semakin meningkat. Perilaku mengakhiri hidup dan perilaku menyakiti diri sendiri adalah dua konsep yang berbeda; walaupun mereka mungkin memiliki beberapa kesamaan, hubungan di antara mereka rumit. Perilaku mengakhiri hidup mengacu pada tindakan apa pun yang bertujuan untuk mengakhiri hidup seseorang, seperti mencoba mengakhiri hidup, membuat rencana mengakhiri hidup, atau mengungkapkan pikiran atau perasaan untuk mengakhiri hidup. Di sisi lain, perilaku menyakiti diri sendiri, juga dikenal sebagai non-suicide self-injuries (NSSIs), mengacu pada tindakan yang disengaja untuk melukai diri sendiri atau melukai diri sendiri tanpa niat untuk mengakhiri hidup.

Anggota KPAI, Diyah Puspitarini dalam FGD Peran negara dalam kasus anak menyakiti dirinya dan mengakhiri hidup (28/11/2023)

Dalam paparannya, Diyah Puspitarini menyampaikan bahwa ada berbagai upaya pencegahan dalam kasus anak menyakiti diri dan mengakhiri hidup. Upaya ini harus terus menerus dilakukan untuk melawan keinginan mengakhiri hidup seperti terus meningkatkan sisi penguatan keluarga dengan pengasuhan positif kemudian mengedukasi anak-anak terkait literasi digital yang baik. Lebih lanjut pada satuan pendidikan, guru dapat memberikan bimbingan konseling kepada anak-anak yang bermasalah secara rutin, lanjut Diyah.

KPAI terus mendorong Pemerintah Pusat dan Daerah untuk terus melakukan upaya pencegahan dengan mensosialisasikan secara massif tentang bahaya mengakhiri hidup serta bagaimana pemulihan terhadap anak secara optimal dengan melibatkan institusi terkait. Sebab, dalam anak mengakhiri hidup perlu adanya pendampingan psikososial bagi keluarga ataupun teman terdekat korban, tegasnya. 

Direktur Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan Vensya Sitohang dalam FGD Peran negara dalam kasus anak menyakiti dirinya dan mengakhiri hidup (28/11/2023)

Sementara itu, Vensya Sitohang menyampaikan bahwa data menyebutkan sebesar 50 persen ganggung jiwa berawal sebelum usia 14 tahun dan ada banyak faktor penyebab kerentanan gangguan jiwa. Lebih lanjut, faktor tersebut seperti faktor biologis yaitu riwayat kesehatan jiwa dan genetik yang menurun dalam keluarga, lalu faktor psikologis seperti pengelolaan emosi yang rendah dan juga resiliensi diri rendah juga faktor sosial pola asuh yang tidak baik juga relasi dengan keluarga yang tidak baik.

Berbagai upaya penting untuk dilakukan dalam menyelamatkan kesehatan jiwa baik promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang proaktif, terintegrasi, komprehensif, dan berkesinambungan sepanjang siklus kehidupan dengan mengedepankan peran keluarga dan masyarakat, tutur Vensya. 

Lebih lanjut Vensya mengatakan perlunya dilakukan upaya-upaya yang terintegrasi dengan lintas program dan lintas sektor untuk meningkatkan kesehatan jiwa remaja, mencegah hingga menangani remaja yang memiliki masalah kesehatan jiwa.

Anisia Kumala Psikolog Anak UHAMKA dalam FGD Peran negara dalam kasus anak menyakiti dirinya dan mengakhiri hidup (28/11/2023)

Penelitian menunjukkan bahwa hampir 80% orang yang mencoba mengakhiri hiduo akan mengatakan sesuatu sebelumnya. Itu sebabnya mendengarkan dan mengamati adalah kuncinya.

Penting untuk disadari, bahwa anak-anak kita tumbuh, di masa ketika sekitar 30% remaja perempuan dan 14% laki-laki mengatakan pernah berpikir serius untuk mengakhiri hidup, dan sekitar 40% mengambil tindakan berdasarkan pemikiran tersebut, ucap Anisia Kumala.

Pikiran atau tindakan untuk mengakhiri hidup, bahkan pada anak-anak yang masih sangat kecil, merupakan tanda stress yang ekstrim dan tidak boleh diabaikan. Bahkan ketika kita yakin anak tidak berada dalam situasi krisis, sangat penting untuk menanggapi semua pemikiran untuk megakhiri hidup dengan serius, tuturnya.

Dalam FGD ini, disepakati beberapa rekomendasi yaitu sebagai berikut:

  1. Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah bersinergi menjadikan perlindungan khusus anak sebagai arus utama dalam pembangunan dengan meningkatkan layanan, melalui perbaikan regulasi, kelembagaan, program dan anggaran demi tercapainya anak-anak Indonesia yang berkualitas;
  2. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah melakukan upaya deteksi dan cegah dini fenomena anak menyakiti diri dan mengakhiri hidup dengan melakukan sosialisasi anti kekerasan pada anak ke keluarga, sekolah, dan masyarakat termasuk tokoh agama, tokoh masyarakat yang dapat dilakukan melalui berbagai platform media secara optimal sesuai dengan usia dan metode anak;
  3. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah meningkatkan kualitas layanan rehabilitasi sosial dengan memastikan penanganan serta pemulihan anak korban tersedia serta mudah diakses untuk anak dan keluarga dengan melalui pembentukan kebijakan daerah, peningkatan kualitas SDM dan dukungan anggaran;
  4. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah memastikan dan menjamin anak berada dalam pengawasan dan pengasuhan positif dan optimal baik dilingkungan keluarga, sekolah, bermain, peribadatan untuk menjamin pemenuhan hak dan menghindarkan anak dari kekerasan dan diskriminasi;
  5. Aparat Penegak Hukum dalam tindak lanjut kasus anak mengakhiri hidup tetap melalui prosedur penyelidikan, penyidikan dan tetap melakukan autopsi sesuai SOP yang berlaku;
  6. Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia agar membatasi akses link tentang bunuh diri yang saat ini sangat mudah diakses anak-anak;
  7. Kementrian Sosial agar melakukan penguatan kesehatan mental anak dan orang tua, karena hal ini akan berpengaruh terhadap pola pengasuhan dan komunikasi di dalam rumah;
  8. Pusat Pembelajaran Keluarga (Puspaga), sebagai layanan pencegahan dalam meningkatkan kehidupan keluarga dan ketahanan keluarga melalui program pendidikan/pengasuhan, keterampilan menjadi orang tua, keterampilan melindungi anak, kemampuan meningkatkan partisipasi anak dalam keluarga maupun penyelenggaraan program konseling bagi anak dan keluarga;
  9. Satuan pendidikan, agar melakukan pengawasan secara langsung dan intensif kepada anak terutama ketika jam rawan dan kegiatan sekolah yang rawan;
  10. Kementrian Kesehatan memenuhi kebutuhan Tenaga Psikolog Klinis di satuan pendidikan dan lembaga layanan kesehatan yang bisa dimanfaatkan oleh anak dan keluarga yang dapat diakses setiap saat dan bebas secara pembiayaan;
  11. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah membuat Peta Jalan Pencegahan Anak Menyakiti Diri dan Mengakhiri Hidup di Indonesia perlu kita buat sebagai alternatif perlindungan bagi anak;
  12. Kemendikbudristekdikti perlu memasukkan Kurikulum terkait Kesehatan Mental yang diajarkan kepada anak di Satuan Pendidikan;
  13. Kepolisian Republik Indonesia perlu membuat panduan SOP untuk penanganan anak menyakiti diri dan mengakhiri hidup di seluruh jajaran Aparat Penegak Hukum;
  14. Revisi Permendikbud No. 111 tahun 2014 tentang Bimbingan Konseling pada Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah terutama yang mengatur tentang rasio perbandingan guru BK dan peserta didik. 

Harapannya kedepan agar rekomendasi ini segera dapat diimplementasikan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah, demi terwujudnya penyelenggaraan perlindungan anak yang lebih optimal, pungkas Diyah. (Kn)

Media Kontak : Humas KPAI Email : humas@kpai.go.id WA. 081380890405

Exit mobile version