Rumah perlindungan dan rumah aman yang berfungsi sebagai tempat penampungan sementara anak-anak telantar, korban kekerasan domestik dan rumah tangga, serta korban perdagangan orang mayoritas belum mencapai standar nasional. Diperlukan pemantauan dan sosialisasi dari pemerintah kepada yayasan dan komunitas yang mengelola tempat-tempat tersebut.
Banyak rumah perlindungan dan rumah aman dari segi bangunan, pengelolaan, staf, dan program tidak mencukupi. Akibatnya, anak bukan terbantu, melainkan tetap menghadapi kondisi tidak ideal,” kata Sekretaris Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Erlinda saat dihubungi di Jakarta, Rabu (20/5).
Rumah perlindungan merupakan tempat penampungan anak-anak dengan masalah sosial, seperti penelantaran, kekerasan, dan perdagangan orang. Jika keselamatan mereka terancam, mereka ditempatkan di rumah aman. Lokasi rumah-rumah aman hanya diketahui oleh pekerja sosial, polisi, serta petugas yang bersangkutan dengan kasus tersebut.
Di Indonesia, terdapat 15 rumah perlindungan sosial anak (RPSA) yang dikelola oleh Kementerian Sosial, mencakup rumah perlindungan untuk anak bermasalah sosial dan anak dengan disabilitas, serta rumah aman. RPSA merupakan rujukan rumah perlindungan dan rumah aman yang layak. Selain itu, terdapat sembilan tempat penampungan serupa milik lembaga swadaya masyarakat internasional SOS Children Village yang juga memenuhi standar. Adapun sisanya, yang diduga KPAI berjumlah hingga 5.000-an, dikelola oleh komunitas dan yayasan. RPSA ini memiliki keterbatasan sarana dan prasarana.
Contohnya, jumlah kamar dan kamar mandi tidak sesuai dengan jumlah anak yang ditampung, tempat tidur tidak layak, dan makanan yang diberikan kurang baik. Dari segi anggota staf, tidak ada tenaga ahli, seperti psikolog, perawat, dan pengasuh terlatih, yang bisa menangani anak-anak dengan trauma sosial, mental, dan fisik.
“Jika masyarakat ingin membuat rumah perlindungan dan rumah aman, hendaknya masyarakat berkomunikasi dengan dinas sosial setempat agar rancangannya disesuaikan ketentuan pelayanan kepada anak-anak yang membutuhkan,” kata Erlinda.
Pada kesempatan terpisah, Deputi Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Wahyu Hartomo mengakui ada kekurangan jumlah tempat perlindungan anak. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak memiliki Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A) di 210 kabupaten/kota. Namun, belum ada tempat khusus untuk menampung anak-anak yang memiliki masalah sosial.
“Ada rencana berkoordinasi dengan Kementerian Sosial untuk membuat tempat penampungan anak di P2TP2A,” ujar Wahyu.