KPAI, LPSK DAN KPPPA GELAR FGD PEMENUHAN HAK RESTITUSI BAGI ANAK KORBAN KEKERASAN, EKSPLOITASI DAN TPPO 

FGD dan dialog tentang pemenuhan hak restitusi anak korban kekerasan, eksploitasi dan TPPO (02/05/2024)

Jambi, – Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bersama dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) selenggarakan Focus Group Discussion (FGD) dan dialog pemenuhan hak restitusi bagi anak korban kekerasan, eksploitasi dan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).

FGD tersebut dilaksanakan di Kota Jambi selama 2 hari pada, Kamis-Jumat (02-03/05/2024) dan kegiatan ini merupakan tindak lanjut dari perjanjian kerjasama antara KPAI, LPSK dan Kementerian PPPA tentang Sinergi Advokasi Pemenuhan Hak Restitusi dalam Perlindungan Anak Korban Tindak Pidana. Hadir narasumber dalam FGD hari pertama yakni Nahar Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kemen PPPA, Ai Maryati Solihah Ketua KPAI, Livia Iskandar Wakil Ketua LPSK, dan dihadiri peserta baik secara luring maupun daring dari Kementerian Hukum dan HAM Kanwil Jambi, Dinas PPPA/UPTD Provinsi Jambi dan Kab./Kota, Dinas Sosial Provinsi Jambi dan kab/Kota, Dinas Pendidikan Provinsi Jambi dan Kab/Kota, Dinas Kesehatan Provinsi Jambi dan kab/Kota, Dinas PPPA/UPTD Provinsi Bengkulu dan Kab/Kota di Provinsi Bengkulu terdekat kota Jambi, Dinas Sosial Provinsi Sumatera Selatan dan kab/Kota di Provinsi Sumatera Selatan terdekat kota Jambi, serta  UPT/Lembaga layanan Perlindungan Khusus Anak di Prov/Kab/Kota Jambi. 

Dalam sambutannya, Nahar menyampaikan bahwa resitusi berperan sebagai salah satu bentuk upaya ganti kerugian yang diberikan oleh pelaku atas dampak tindak pidana yang dialami oleh anak korban. 

“Sehingga hak anak korban jangan sampai terabaikan, hak-haknya harus dipenuhi termasuk restitusi, sebab anak korban mendapatkan penderitaan seumur hidup baik fisik dan psikis, itu sebabnya harus dipulihkan, selain itu akses untuk mendapatkan restitusi tersebut negara harus hadir, agar anak-anak tentunya dapat menggapai masa depannya kembali, harapannya FGD hari ini dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya dan menghasilkan rekomendasi yang disepakati oleh peserta,” tutur Nahar.

Dalam mengimplementasikan restitusi diperlukan dukungan dan kerjasama dari berbagai pihak. Berbagai upaya dilakukan dalam perlindungan dan pemenuhan hak bagi anak korban tindak pidana yakni dengan membangun serta meningkatkan pemahaman perspektif Perlindungan Anak dan Pemenuhan Hak Restitusi Anak Korban Tindak Pidana di tingkat Lembaga Layanan Perlindungan Khusus Anak, selain itu dilakukan percepatan koordinasi, sinergi, dan implementasi di tingkat layanan pemenuhan hak restitusi korban. 

Sementara itu, Ai menyampaikan bahwa KPAI dalam pengawasannya masih menemukan gap dalam implementasi pemenuhan restitusi terhadap anak korban, diantaranya yakni masih minimnya pengetahuan mengenai pemenuhan hak restitusi untuk anak korban pidana di tingkat APH dan Pendamping Korban. 

“Perlu diperkuat pengawasan terhadap implementasinya, dalam hal ini political will pemda sangat penting sebagai bentuk komitmen pemda, jika gap ini terus berlangsung tanpa ada pengawasan independen, maka rantainya akan sama, tutur Ai.

Dalam pendampingan kasus keterampilan dan pendekatan pendamping dengan anak korban, kemudian juga penting untuk menyepakati mekanisme sopnya sesuai standar, dalam hal akses pemenuhan restitusi bisa dengan perwakilan lpsk terdekat, lanjut Ai.

Untuk itu, dibutuhkan kerjasama Aparat Penegak Hukum (APH) dengan pendamping, sehingga hari ini kita mengundang Dinas terkait kemudian besok APH, harapannya cross cutting issue ini dapat menghasilkan rumusan rekomendasi terkait permohonan, pemberian restitusi, ada pulaKompensasi, dan Bantuan bagi anak korban tindak pidana dari perspektif petugas layanan perlindungan khusus anak dan Aparat Penegak Hukum, tegasnya.

Dalam Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014 pasal 71D (1) Setiap anak yang menjadi korban AMPK (anak membutuhkan perlindungan khusus) pada pasal 59 ayat 2 yakni (anak yang berhadapan dengan hukum, anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksualanak yang menjadi korban pornografianak korban penculikan, penjualan, dan/atau perdagangan, anak korban kekerasan fisik dan/atau dan anak korban kejahatan seksual) berhak mengajukan ke pengadilan berupa hak atas restitusi yang menjadi tanggungjawab pelaku kejahatan. 

Kemudian, amanah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Jo. UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban pasal 1 angka 11 Ganti kerugian yang diberikan kepada Korban atau Keluarganya oleh pelaku atau pihak Ketiga.

LPSK memiliki mandat tugas terkait restitusi yakni memberikan perlindungan kepada saksi dan korban dalam proses peradilan pidana yang dapat diberikan sejak tahap penyelidikan dimulai (Pasal 8 ayat (1) UU Perlindungan Saksi dan Korban, selain itu juga LPSK memfasilitasi hak pemulihan bagi korban kejahatan (bantuan medis, psikologis, rehabilitasi psiko-sosial, fasilitasi kompensasi dan restitusi) tutur Livia dalam paparannya.

“Kewenangan LPSK dalam melakukan penilaian ganti rugi pemberian Restitusi dan Kompensasi, menghitung, lalu diajukan kepada Jaksa Penuntut Umum, untuk dimasukkan ke dalam tuntutan yang kemudian diputuskan oleh Majelis Hakim yang menyidangkan perkara, lanjut Livia.

Jika hakim tidak menemukan permohonan Restitusi tersebut maka, hakim melalui penuntut umum atau pendamping dapat memberitahukan kepada pihak korban mengenai hak untuk mendapatkan restitusi dan tata cara pengajuannya pada saat sebelum dan/atau proses persidangan, tegasnya.

Di akhir sesi, seluruh peserta menyepakati beberapa rekomendasi tentang pengajuan Restitusi sebagai upaya perlindungan dan pemenuhan hak bagi anak korban kekerasan, yakni sebagai berikut:

  1. Lembaga pendamping seperti UPTD PPA/P2TP2A, KPAID memastikan pemenuhan hak korban tindak pidana kekerasan, termasuk kekerasan seksual  dan menginformasikan hak atas restitusi kepada anak korban, keluarga dan APH;
  1. Pentingnya upaya advokasi, sosialisasi dan penyadaran  pada Aparat Penegak Hukum (APH), Organisasi Perangkat Daerah (OPD), Lembaga Layanan Perlindungan Khusus Anak, UPTD PPA, masyarakat tentang pemenuhan hak restitusi bagi anak korban tindak pidana kekerasan, termasuk kekerasan seksual;
  1. Dalam hal laporan kasus kekerasan terhadap anak tidak ditindaklanjuti atau lambat dalam proses hukum, diperlukan respon pengawasan dari pihak terkait;
  1. LPSK memastikan bahwa akses pemenuhan hak saksi dan korban, termasuk penghitungan restitusi dari provinsi Jambi, Sumsel dan Bengkulu tetap dapat dilaksanakan;
  1. Perlunya dibentuk perwakilan LPSK di daerah provinsi Jambi, Sumsel dan Bengkulu, agar pihak korban lebih mudah berkoordinasi dan meminta bantuan dalam mengakses pemenuhan hak saksi dan korban, termasuk penghitungan restitusi;
  1. Dinas Pendidikan harus memantau keberlanjutan pendidikan bagi korban anak, diharapkan korban tidak dikeluarkan dari sekolah;
  1. Dinas Kesehatan kedepan perlu menyediakan psikolog klinis (ASN atau PPPK dll melalui koordinasi MenPANRB), sehingga bisa membantu korban anak. Selain itu, dapat bekerja sama dengan psikolog yang memiliki Surat Izin Praktik Psikolog (SIPP) yang masih berlaku;
  1. Diperlukan upaya penertiban dan pengawasan aplikasi pornografi yang menimbulkan anak terpapar pornografi.

Harapannya, dengan beberapa rekomendasi tersebut ini menjadi upaya dalam rangka membangun dan meningkatkan efektifitas pemahaman perspektif Perlindungan Anak tingkat Organisasi Perangkat Daerah (OPD) dan Lembaga Layanan Perlindungan Khusus Anak tentang pentingnya restitusi bagi anak korban eksploitasi, kekerasan dan TPPO, pungkas Ai. (Kn)

Media Kontak : Humas KPAI Email : humas@kpai.go.id WA. 081380890405

Exit mobile version