Jakarta – Dalam kurun waktu enam bulan, Bareskrim Polri telah mengungkap 47 kasus penyebaran konten pornografi dan mengamankan 58 orang tersangka. Bareskrim Polri juga telah mengajukan kepada Komdigi untuk dilakukan pembokliran terhadap 15.659 situs pornografi yang mengandung konten anak serta Kepolisian telah mengeluarkan 589 himbauan ataupun link edukasi terhadap masyarakat.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengapresiasi langkah tegas Bareskrim Polri dalam mengungkap kasus anak korban eksploitasi seksual berbasis online. “Konten digital bermuatan pornografi dan kekerasan seksual harus dilakukan penindakan tegas terhadap situsnya maupun pelaku, karena konten tersebut menimbulkan resiko paparan negatif terhadap tumbuh kembang anak,” ujar Kawiyan Anggota KPAI saat mengikuti Konferensi Pers di Bareskrim Polri, pada Rabu (13/11/2024).
Kawiyan juga menyampaikan bahwa Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) diharapkan dapat melakukan tindakan tegas terhadap seluruh situs dan aplikasi yang tidak memiliki perspektif perlindungan anak, sebagaimana ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
“Rencana Komdigi untuk melakukan pembatasan akses internet dan konten negatif terhadap anak di media sosial tentu harus didukung, karena anak-anak tidak boleh dijadikan sebagai korban kekerasan seksual maupun korban eksploitasi seksual,” lanjutnya.
Sesuai Pasal 15 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi menyatakan bahwa, Setiap orang berkewajiban melindungi anak dari pengaruh pornografi dan mencegah akses anak terhadap informasi pornografi.
Pengungkapan kasus ini dilakukan oleh Satuan Tugas (Satgas) Pornografi Anak, yang terdiri dari Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri, Direktorat Reserse Siber Polda Jajaran dan Subdit Jajaran.
“Kasus pertama ini, pelaku OS mengelola sekitar 27 situs yang berisi konten pornografi anak-anak dan dewasa. Serta kasus kedua, pelaku yang melibatkan S, MS, dan SHP sebagai Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH) mengelola grup telegram yang yang berisi konten pornografi anak-anak dan sesama jenis,” kata Wadirtipidsiber Bareskrim Polri, Kombes Dani Kustoni.
Lebih lanjut, Kombes Dani menyampaikan bahwa SHP (16) telah diberikan penanganan terhadap rehabilitasi secara fisik, psikis, dan sosial, pendampingan psikososial dan hukum di Unit Pelaksana Teknis Pusa Perlindungan Perempuan dan Anak (UPT P3A) DKI Jakarta.
Sebagaimana diamanahkan pada Pasal 59A Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak yang menjelaskan bahwa Perlindungan Khusus bagi Anak dilakukan melalui upaya: a. penanganan yang cepat, termasuk pengobatan dan/atau rehabilitasi secara fisik, psikis, dan sosial, serta pencegahan penyakit dan gangguan kesehatan lainnya; b. pendampingan psikososial pada saat pengobatan sampai pemulihan; c. pemberian bantuan sosial bagi Anak yang berasal dari Keluarga tidak mampu; dan d. pemberian perlindungan dan pendampingan pada setiap proses peradilan.
Harapannya kepada keluarga dalam menghadapi fenomena dampak negatif media sosial, khususnya pornografi anak, adalah untuk lebih aktif terlibat dalam pengawasan dan pembinaan anak-anak. Kepada para orang tua agar lebih aktif mengawasi penggunaan media sosial anak-anak. Ini termasuk memahami aplikasi yang digunakan, siapa saja yang berinteraksi dengan anak, serta jenis konten yang mereka konsumsi secara online.
Selain itu, keluarga dapat memberikan pendidikan nilai-nilai moral yang kuat kepada anak-anak, agar mereka dapat lebih bijak dalam menggunakan media sosial dan membuat keputusan yang positif dalam kehidupan digital mereka.
Secara keseluruhan, KPAI berharap keluarga dapat menjadi benteng pertama dalam melindungi anak-anak dari dampak negatif media sosial, termasuk pornografi, dan berperan aktif dalam menciptakan lingkungan digital yang lebih aman bagi anak, pungkas Kawiyan. (Rv/Ed:Kn)
Media Kontak Humas KPAI,
Email : humas@kpai.go.id
WA. 0811 1002 7727