Iring-iringan mobil memasuki gerbang SOS Children’s Village di Cibubur, Jakarta Timur. Rombongan berhenti di salah bangunan berdinding bata polos di kompleks yang memiliki pekarangan luas ini.
Mobil pertama ditumpangi . Kendaraan di belakang membawa Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohana Yembisen Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Erlinda dan Ketua Komisi Nasional Anak, Arist Merdeka Sirait.
Kedatangan mereka untuk menengok lima anak yang ditelantarkan bapak dan ibunya: Utomo Permono dan Nurindria Sari. Sejak kasus penelantaran ini terkuak, kelima anak itu diungsikan dari rumah mereka Citra Gran Cibubur ke SOS Children’s Village.
Tempat yang dikelola Gregor Hadiyanto Nitihardjo ini adalah rumah aman (safe house) bagi anak-anak yang didera masalah keluarga, baik ditelantarkan maupun mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Menteri Yohana, Erlinda dan Arist menuju lapangan rumput di belakang rumah. Kelima anak yang ditelantarkan orangtuanya” yang terbilang mapan” tengah bermain di situ bersama anak asuh lainnya.
Begitu tiba, rombongan dan Yohana langsung disambut tepuk tangan anak-anak korban kekerasan. “Selamat datang Mama Yo,” sapa anak-anak kepada sang menteri.
Menteri Yohana, Arist dan Erlinda langsung duduk bersama anak-anak. Mereka ikut mendengarkan dongeng yang diceritakan Iman Surahman (Kak Iman) dari Kampung Dongeng Tangerang Selatan. Iman sedang mendongeng tetang kehidupan ulat. Ulat sering diejek karena penampilannya buruk dan berjalan merangkak. Dalam tempo tak lama, setelah bermetaformosis ulat berubah wujud menjadi kupu-kupu yang cantik.
Sambil mendengarkan dongeng, salah seorang anak Utomo-Nurindra yang berusia 10 tahun tampak menyenderkan tubuhnya di pangkuan Arist. Tangannya tangannya yang kecil sesekali memeluk kaki Arist. Ketika dongeng berakhir dan dilanjutkan dengan bincang-bincang tentang kegiatan mereka, dia tetap tak beranjak. Posisinya tetap sama, meringkuk sambil menyembunyikan diri dari orang asing, termasuk para awak media. “Dia takut kamera,” kata Arist.
Arist menjelaskan, anak itu trauma mendalam. Mereka jadi takut bertemu orang. “Tingkat trauma anak-anak itu sudah sangat akut. Karena sudah mengalami penelantaran sejak lama. Ketika ada psikolog saja awalnya masih sembunyi di kolong meja. Makanya sekarang masih dibina psikologisnya,” katanya.
Menurut Arist, kondisi kelima anak ini sudah sedikit membaik. Mereka mulai bisa berbaur, dan bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya. Mereka juga sudah dikenalkan lagi dengan permainan anak-anak, agar cepat pulih.
“Mereka harus mendapat keceriaan yang seyogyanya didapat bocah seusianya. Mereka juga sudah dikenalkan juga sama sekolah sekitar sini, sekalipun nggak belajar di sana. Biar mereka tertarik dan siap untuk bersekolah lagi nantinya,” terangnya.
Arist belum tahu sampai kapan kelima anak itu akan dititipkan di tempat ini. Untuk mengobati trauma anak-anak itu, psikolog akan didatangkan rutin ke SOS Children’s Village. “Kami mau menyembuhkan psikologis mereka secepat dan sebaik mungkin. Karena saya sangat khawatir dengan kondisi psikologis mereka, di mana bahasa tubuhnya menunjukkan mereka sangat takut terhadap orangtuanya,” jelas dia.
Menteri Yohanna menyayangkan Utomo Permono dan Nurindria yang menelantarkan kelima anaknya. “Seharusnya tidak ada alasan apapun bagi orangtua untuk menelantarkan anaknya,” tandasnya.
Kasus penelantaran lima anak pasangan Utomo-Nurindria terungkap setelah salah satu anaknya, D, 8, tahun tak diizinkan masuk ke rumah selama sebulan. Bocah itu pun tidur di pos jaga. Beberapa tetangga yang iba kemudian mengurusnya.
Setelah mendapat pengaduan dari masyarakat, tim gabungan yang terdiri dari unsur Kepolisian, KPAIdan Kementerian Sosial mendatangi rumah pasangan Utomo-Nurindria pada Kamis pekan lalu. Polisi sampai mendobrak pintu rumah karena orangtua anak-anak itu tak mempersilakan masuk.
“Kami terpaksa mendobrak pintu itu. Saat masuk, kami merinding karena penghuninya seperti tinggal di tempat sampah. Kondisi di dalam rumah sungguh berantakan, penuh sampah. Seluruhnya berantakan, mulai dari meja, kursi, barang-barang, hingga pakaian. Kami tidak tahu mana WC, mana dapurnya,” tutur Komisaris Buddy Towoliu, Kepala Unit IKejahatan dengan Kekerasan (Jatanras) Polda Metro Jaya.
Mirisnya, kedua orangtua mereka sebetulnya cukup berpendidikan. Utomo adalah dosen di Sekolah Tinggi Teknologi (STT) Muhammadiyah Cileungsi, Bogor, Jawa Barat. Pasangan Utomo-Nurindria dijerat dengan pasal 76 (b) dan pasal 77 (b) Undang-Undang 35/2014 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman hukuman lima tahun penjara.
Selain kasus penelantaran anak, polisi tengah mengusut dugaan kedua pasangan ini sebagai pengguna narkoba. Dari hasil pemeriksaan urine, keduanya terbukti mengonsumsi narkoba jenis sabu.
Saat menggeledah rumah mereka, polisi menemukan sabu seberat 0,58 gram dan alat isap atau bong. Utomo dan Nurindria pun ditetapkan sebagai tersangka kasus narkoba. Pasangan ini sudah mengonsumsi barang haram itu sejak 6 bulan terakhir. Menurut polisi, keduanya mengonsumsi sabu di rumahnya.
Dikaji, Pencabutan Hak Asuh Pasangan Utomo-Nurindria
Sejumlah instansi tengah mengkaji pencabutan hak asuh dari Utomo Permono dan Nurindria Sari terhadap lima anak mereka.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Yohana Yembise mengatakan, hak asuh kedua pasangan itu bisa dicabut jika terbukti melakukan penelantaran terhadap anak-anaknya.
“Itu sudah ada dalam undang-undang yakni bilamana orangtua tidak sanggup membesarkan anak-anaknya, menelantarkan anak, maka hak asuhnya akan dicabut,” jelas dia.
Setelah hak asuh diasuh, pemerintah akan mempertimbangkan siapa yang akan ditunjuk menjadi keluarga pengganti bagi kelima anak itu. “Dalam undang-undang diserahkan kepada keluarga dekatnya, keluarga besar. Jika sampai tidak diperhatikan sama sekali maka akan diserahkan ke negara, ke Kementerian Sosial,” paparnya.
Sekretaris Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Erlinda mengatakan, pihaknya bersama instansi terkait sudah membahas kemungkinan pencabutan hak asuh Utomo dan Nurindria.
“Proses hak asuh sudah ada pembahasan. Keberlangsungan hak asuh, soal di mana mereka akan tinggal, pihak mana yang mengawal itu sudah dibahas,” ungkap Erlinda.
Namun saat ini, pihaknya mengutamakan proses penyembuhan psikologis kelima anak itu. Mereka diisolir di dalam rumah mereka di Citra Gran Cibubur sejak pindah setahun lalu.
Lima bulan terakhir, anak-anak itu ditelantarkan meski di dalam rumah. Saat digerebek tim gabungan, kondisi rumah acak-acakan.
Dari lima anak itu, hanya D yang berjenis kelamin laki-laki. Ia pernah tak boleh masuk rumah selama sebulan, sehingga tidur di pos jaga. Ia juga mengaku pernah mengalami kekerasan dari orangtuanya.
Di antaranya saudara-saudaranya, D paling bisa menceritakan apa yang terjadi di rumah berlantai dua yang dihuni keluarganya. Sementara empat anak perempuan lainnya takut berbicara dengan orang lain karena lama diisolir.
Erlinda mengungkapkan, keluarga besar kelima anak itu sudah menjenguk ke safe house. Meski anak-anak itu sudah sembuh dari trauma, keluarga besarnya tak bisa langsung mendapatkan hak asuhnya. Kondisi kehidupan keluarga yang akan menjadi orangtua asuh anak-anak ini akan dikorek lebih dulu.
“Ada yang ingin mengasuh dari kakek, nenek, om, dan tantenya. Tapi, itu perlu assessment. Mereka (anak-anak ini) juga tidak boleh dipisahkan, asuhnya tidak satu-satu. Harus tumbuh kembang secara bersama kelimanya,” kata Erlinda.