KPAI: Hentikan Pengiriman TKI yang Punya Balita

Jakarta – Komisi Perlindungan Anak Indonesia mendesak pemerintah segera menghentikan pengiriman tenaga kerja wanita yang masih memiliki bayi dan anak balita ke luar negeri. Anak TKI yang ditinggal bekerja ibunya ke luar negeri bakal kekurangan kasih sayang.

Menruut Ketua KPAI Asrorun Niam Sholeh, tanpa jaminan yang memadai, anak yang ditinggal bekerja keluar negeri bahkan bisa terlantar.

“Masih banyak wanita yang dikirim ke luar negeri tanpa ada jaminan yang memadai sehingga menyebabkan anak-anak mereka terlantar,” kata Niam di kantornya, Jakarta Pusat, Senin (11/4).

Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) pada tahun 2012 menyebutkan sekitar 7 juta TKI setiap tahunnya berada di luar negeri.

80 persennya atau sekitar 5,6 juta adalah perempuan usia produktif berkisar antara 18 sampai 40 tahun. KPAI memprediksi sekitar 11,2 juta anak TKI perempuan setiap tahunnya kehilangan hak pengasuhan dan kasih sayang dari ibunya.

TKI Perempuan yang memiliki bayi dan balita tidak boleh dipisahkan dari anaknya. Ia menilai, perlu adanya regulasi dari pemerintah untuk menangani anak-anak yang ditinggal oleh para tenaga kerja yang dikirim ke luar negeri.

“Misalnya terkait batasan usia berapa mereka bisa ditinggal. Atau ada semacam garansi dari pemerintah untuk memenuhi hak dasar anak-anak itu,” tuturnya.

Jaminan Pengasuhan Anak TKI

Komisioner KPAI bidang Sosial Maria Ulfah Anshor mengatakan, dalam Undang-Undang nomor 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri belum ada satu ayat pun yang mengatur tentang nasib bayi dan balita yang ditinggalkan oleh TKI perempuan.

“Harusnya ada kebijakan terkait para TKI. Terutama tenaga kerja wanita yang memiliki anak bayi dan balita,” kata Maria.

Hasil penelitian KPAI menyebutkan, TKI perempuan meninggalkan anaknya dengan rentan usia berumur seminggu hingga dua tahun, dalam waktu lebih dari sepuluh tahun ditinggal ibunya ke luar negeri.
Dampaknya, anak yang ditinggal ibunya dalam waktu lama mengalami masalah sosial kompleks, meskipun secara fisik kebutuhannya terpenuhi tetapi secara psikis terganggu.

“Ada yang mengalami tekanan psikologis, disintegritas keluarga, kehamilan remaja, konsumerisme, anak bergabung dengan geng kekerasan, hingga penyalahgunaan narkoba.”

Tidak hanya itu, si anak bisa berpotensi tak berprestasi di sekolah, mengalami kesepian dan problem sosial yang kompleks hingga menimbulkan semacam kepanikan moral dalam diri mereka. Anak juga bisa kurang terawat, mengalami gizi buruk, terganggu pendidikannya dan , mudah marah.

Padahal, kataq Maria, pengiriman TKI perempuan ke luar negeri menyumbangkan devisa bagi negara trilunan rupiah setiap tahunnya. Pada tahun 2006 misalnya, sebesar US$5,6 miliar. Kemudian BNP2TKI menyebut tahun 2012 devisa meningkat sebesar US$7,1 miliar.

“Dari sisi kesejahteraan anak, triliunan sosial tak sebading dengan pengorbanan puluhan juta anak TKI perempuan yang terlantar karena kehilangan pengasuhan dan hak-hak lainnya tidak terpenuhi,” ujarnya.

Maria mengatakan, permasalahan tersebut menunjukan bahwa negara dalam hal ini DPR dan pemerintah telah melakukan pembiaran terhadap kekosongan kebijakan dan layanan publik terkait jaminan pengasuhan anak TKI.

“Dalam kesejahteraan sosial anak TKIP negara tidak hadir. Ini bisa dikategorikan terindikasi melakukan pelaggaran HAM anak,” katanya.

Karenanya, Maria berharap DPR memasukan aturan untuk nasib anak TKIP dalam Program Legislasi Nasional 2016.

“Apapun bentuk undang-undangnya atau aturannya harus mementingkan yang terbaik untuk bayi dan balita yang ditinggal oleh para tenaga kerja,” kata Maria.                   

Exit mobile version