Sumba, – Menanggapi isu/berita praktek kawin tangkap dan kekerasan seksual di Sumba Barat Daya yang tengah menjadi perhatian masyarakat belakangan ini, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) melakukan pengawasan untuk menggali lebih dalam terkait praktek kawin tangkap tersebut.
“Kita tahu, kekerasan seksual beragam wujudnya, salah satunya kekerasan seksual yang mengatas namakan budaya. KPAI mendapati bahwa masih ada korban kasus kawin tangkap, berusia dibawah 18 tahun,” ujar Dian, Anggota KPAI saat melakukan kunjungan di Sumba (16/9).
Video kawin tangkap yang beredar menunjukkan perlakukan tidak manusiawi kepada perempuan yang mengakibatkan penderitaan fisik, psikis, emosional, dan sosial, lanjut Dian.
Kasus kawin tangkap dapat dijerat Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), sebagaimana tercantum dalam Pasal 4 ayat (1) huruf e jo Pasal 10. Dalam UU TPKS dinyatakan, setiap orang secara melawan hukum memaksa, menempatkan seseorang di bawah kekuasaannya atau orang lain, atau menyalahgunakan kekuasaannya untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perkawinan dengannya atau dengan orang lain, dipidana karena pemaksaan perkawinan, dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp200 juta.
Berdasarkan hasil Focus Group Discussion (FGD) untuk pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual yang di gelar KPAI di Rumah Dinas Wakil Bupati Sumba Barat Daya(16/9), KPAI menggarisbawahi budaya sebetulnya bersifat adaptif pada zaman sehingga budaya yang tidak memuliakan manusia harus dikoreksi atau ditinggalkan, karena berpotensi melanggengkan praktek kekerasaan.
Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur dengan Pemerintah Daerah Sedaratan Sumba telah membuat kesepakatan bersama tentang perlindungan perempuan dan anak di Kabupaten Sedaratan Sumba tahun 2020 yang menyatakan kawin tangkap bukan budaya masyarakat Sumba.
Dalam upaya pengawasan kasus kekerasan seksual tersebut, KPAI juga melakukan pendekatan dengan tokoh masyarakat, tokoh adat, dan tokoh agama untuk memperoleh sudut pandang lain mengenai fenomena kawin tangkap.
FGD tersebut menghasilkan sejumlah rekomendasi untuk, mengkaji ulang budaya kita yg memuliakan manusia, komitmen untuk bersinergi dalam menyelesaikan persoalan kekerasaan, dan komitmen tindak lanjut pencegahan dan penanganan korban kekerasan seksual.
“Dahulu, peristiwa seperti ini ada, tetapi sesungguhnya ini bukan sebuah budaya yang dibenarkan. Hal tersebut terjadi dikarenakan orang belum mengenal yang namanya pendidikan waktu itu.” ungkap Barnabas, Tokoh adat dari desa Kabali Dana saat ditemui di rumahnya (17/9).
“KPAI mendesak empat Kabupaten di Pulau Sumba ini untuk membuat peraturan teknis terkait dengan pencegahan dan penanganan korban kawin tangkap. Karena sudah banyak yang menyampaikan kawin tangkap ini bukan budaya, bukan adat dari masyarkat Sumba,” respon Dian pada akhir rangkaian kunjungan kerja KPAI ke Kabupaten Sumba Barat Daya. (Fz/Ed:Dr,Kn)
Media Kontak : Humas KPAI Email : humas@kpai.go.id WA. 081380890405