Indonesia Darurat Kejahatan Seksual Anak

Jakarta, HanTer – Kasus kekerasan seksual terhadap anak masih terus terjadi di Indonesia. Setelah sebelumnya publik dibuat gempar dengan kejadian pencabulan di Taman Kanak-kanak (TK) Jakarta Internasional School (JIS) dan pencabulan di Sukabumi, kali ini kasus serupa terjadi di Bandung, Jawa Barat. Korbannya pun tak kalah banyak, yakni 21 anak dibawah umur.

Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), Arist Merdeka Sirait, mengatakan, sudah sepantasnya Indonesia ditetapkan sebagai negara darurat kejahatan seksual terhadap anak. Dasar pemikirannya, kata dia, kasus terus menerus terjadi dan tingkat sebarannya pun sudah merata. Begitupun dengan predator atau pelakunya, bisa siapa saja.

“62 persen dari semua kasus pelanggaran terhadap anak itu adalah kejahatan seksual. Sebaran masalahnya bukanya hanya terjadi dilingkungan terdekat anak dan perkotaan, tapi sudah merambah hingga ke pelosok desa,” kata Arist kepada Harian Terbit, di Jakarta, Jumat (15/8).

Dengan adanya status darurat ini, menurut dia, pemerintah sudah seharusnya mengambil sikap tegas dan tindakan nyata untuk meminimalisir kasus. Salah satu caranya adalah membentuk tim reaksi cepat mulai dari tingkat desa dengan melibatkan masyarakat.

“Tim reaksi cepat ini harus diisi oleh masyarakat yang memang mengenal wilayahnya langsung, bisa beranggotakan karang taruna, rukun tetangga, rukun warga, kader posyandu, dan lainnya. Dengan begitu, upaya pendeteksian tindak kekerasan seksual terhadap anak akan lebih mudah,” ujarnya.

Terpisah, Sekertaris Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Erlinda, mengatakan, fenomena kasus kekerasan seksual terhadap anak ini sudah sering diingatkan sejak 5-10 tahun lalu, namun pemerintah seperti abai dan tidak menganggapnya sebagai persoalan serius.

“10 tahun lalu ketika gempar kasus ‘robot gedek’ pemerintah sudah diingatkan jika ini baru permulaan dan harus segera mengambil langkah konkret. Karena pada masa selanjutnya, dimana teknologi semakin canggih dan mudahnya mengakses konten pornografi, akan ditemukan banyak kasus kejahatan seksual terhadap anak,” ungkap Erlinda.

“Begitupun usulan untuk memasukan materi pendidikan seks usia dini yang notebene sebagai pengenalan agar anak menghargai tubuhnya sendiri, selalu ditolak.”
Korban Perlu Rehabilitasi

Lebih lanjut dikatakan Erlinda, para korban yang mengalami kekerasan seksual seperti sebuah siklus, dimana ketika dewasa korban tersebut akan berubah menjadi pelaku kekerasan seksual karena faktor dendam. Dari semua kasus kekerasan seksual, persentasenya lebih dari 60 persen.

Salah satu contohnya, sambungnya, adalah kasus kekerasan seksual di Sukabumi (Emon) dan kasus di Bandung dengan pelaku bernama Obar. “Karena itu, tanpa adanya rehabilitasi total dan pendampingan psikolog,kita perlu waspada jika dikemudian hari korban akan melampiaskan dendamnya,” tuturnya.

Dia mengungkapkan, rehabilitasi minimal dilakukan selama satu tahun. Disamping rehabilitasi, juga perlu pendampingan psikolog, minimal hingga usianya mencapai 18 tahun. “Kasihan sebetulnya korban kekerasan seksual, mereka akan mengalami penderitaan panjang,” kata Erlinda.

Tak sependapat Guru Besar Kriminologi Universitas Indonesia (UI), Prof.Dr. Tb. Ronny Rahman Nitibaskara, mengatakan, pengakuan pelaku kekerasan seksual pernah menjadi korban kekerasan serupa hanya sebuah alasan. “Jika baru dicabuli satu kali, pasti dia ketakutan dan merasakan sakit luar biasa. Makanya itu hanya alasan saja. Kecuali, jika sudah pernah berkali-kali kemungkinan besar dia ingin balas dendam,” paparnya.

Sedikitnya, jelas dia, terdapat tiga faktor tindak kekerasan seksual terhadap anak bisa terjadi. Pertama, pelaku menderita penyimpangan seksual (pedofilia), bahkan ada yg melakukan mutilasi (sadism). Kedua, pelaku penderita psikopat, sehingga sulit disembuhkan dan tidak akan pernah menyesali perbuatannya. Ketiga, pelaku sedang melakukan ritual ilmu hitam dengan syarat harus melakukan hubungan seks dengan anak dibawah umur.

“Dari ketiga faktor ini, masalah utama adalah lemahnya perlindungan terhadap anak baik dari orangtua, keluarga, lingkungan, dan terakhir adalah pemerintah,” ujarnya.

Sedangkan menurut Arist, faktor utama kian maraknya kekerasan seksual adalah perkembangan teknologi, sehingga dengan mudahnya mengakses hal-hal yang berbau pornografi. “Pemerintah tidak boleh alpa lagi terhadap perkembangan teknologi saat ini, harus ada kontrol yang jelas. Jangan lagi ada calon penerus generasi bangsa yang menjadi korban kekerasan seksual,” ujarnya.

Dari data yang berhasil dirangkum Harian Terbit, berdasarkan catatan Komnas PA Januari-April 2014, terdapat 342 kasus kekerasan seksual terhadap anak. Data Polri 2014, mencatat ada 697 kasus kekerasan seksual terhadap anak yang terjadi di separuh tahun 2014. Dari jumlah itu, sudah 726 orang yang ditangkap dengan jumlah korban mencapai 859 orang. Sedangkan data KPAI dari bulan Januari hingga April 2014, terdapat 622 laporan kasus kekerasan terhadap anak.

Exit mobile version