Jakarta, – Hambatan terbesar pada proses penanganan hukum yang melibatkan anak-anak sebagai Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) selama ini adalah, pada tahap pemeriksaan, penyelidikan, dan penyidikan. Salah satu kendala yang sering muncul adalah masalah pembuktian, yang menyebabkan tersangka atau pelaku tidak dapat segera ditahan atau ditangkap.
Sehingga penting untuk meningkatkan pengetahuan dalam pengawasan kasus-kasus TPKS pada anak, sehingga anak yang terkait dengan TPKS baik korban, saksi maupun anak berkonflik dengan hukum tetap terpenuhi hak dan perlindungannya selama proses penanganan, pendampingan, pemulihan dan hak-hak lainnya.
Selanjutnya, tantangan yang dihadapi dalam merespon korban kekerasan seksual pada anak antara lain, ketersediaan petugas atau lembaga yang memberikan respons dari awal hingga tindak lanjut, ketersediaan layanan psikologi forensik di Indonesia, serta perlunya kolaborasi antara sistem dan lembaga negara untuk meminimalkan tumpang tindih dalam proses penanganan kasus.
Sehingga respon terhadap anak yang mengalami kekerasan seksual harus dimulai dengan respons awal yang memadai dan tepat, diikuti dengan asesmen yang kredibel, serta penanganan dampak dan pemulihan. UU TPKS menguatkan penanganan kasus kekerasan seksual pada anak dengan mempertimbangkan kondisi kerentanan anak dan pemenuhan hak-hak korban.
Sejalan dengan itu perwakilan PP Asosiasi Psikologi Forensik Indonesia menekankan bahwa Pemeriksaan psikologi forensik dapat berkontribusi dalam mengidentifikasi kredibilitas, kondisi dampak, kerentanan, dan dinamika relasi antara korban dan pelaku, yang mendukung proses penanganan hukum dengan memperhatikan kepentingan anak.
Data KPAI menyebutkan bahwa sebagian besar dari pengaduan TPKS yang diterima KPAI mengalami hambatan dalam memperoleh keadilan. Pada 2023 sejumlah 395 kasus TPKS diterima KPAI, hingga oktober 2024 sejumlah 164. (Pusdatin KPAI, 2024)
Meningkatkan pemahaman dalam penanganan kasus TPKS, khususnya yang melibatkan anak-anak sebagai korban menjadi langkah yang sangat penting seiring dengan meningkatkannya data aduan atau laporan yang masuk ke KPAI
Oleh karena itu, KPAI menggelar Focus Group Discussion (FGD) yang melibatkan para pegawai KPAI dan juga perwakilan KPAD, serta mengundang narasumber-narasumber yang berkompeten yakni, Wakil Ketua LPSK Sri Nurherwati dan Perwakilan APSIFOR Lucia Peppy Novianti.
FGD yang mengusung tema “Peningkatan Pemahaman TPKS” tersebut dilaksanakan pada, Kamis (31/10/2024).
Diskusi ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman KPAI dan juga peserta lain dalam meningkatkan pemahaman mengenai TPKS, seperti mengembangkan keterampilan dan kepekaan dalam menganalisis kasus serta situasi yang dihadapi anak-anak korban TPKS, tutur Dian Sasmita Anggota KPAI dalam pembukaannya.
Sementara itu, Wakil Ketua LPSK Sri Nurherawati menyampaikan bahwa Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual sudah mulai diberlakukan sejak tanggal 9 Mei 2022 dan tujuannya adalah untuk mencegah, menangani, melindungi, dan memulihkan korban kekerasan seksual.
Sehingga perlu adanya penguatan di masyarakat untuk dapat lebih memahami bahwa hak asasi manusia merupakan hak bagi semua orang dan negara memiliki tanggung jawab untuk menjamin hal itu.
“KPAI dan KPAD merupakan bagian dari negara yang memiliki tanggung jawab untuk memberikan perlindungan dan pemenuhan, serta sangat penting untuk mempromosikan HAM untuk bisa mencegah kemungkinan-kemungkinan kekerasan terjadi, termasuk pada anak-anak”, kata Sri.
Harapannya, agar kedepan dilakukan sosialisasi secara massif sebab melalui sosialisasi yang efektif, dapat menciptakan lingkungan yang lebih aman bagi anak-anak dan mendukung penegakan hukum yang lebih baik terhadap pelaku kekerasan seksual, pungkas Dian. (Ys/Ed:Kn)
Media Kontak Humas KPAI,
Email : humas@kpai.go.id
WA. 0811 1002 7727