FSGI: Sistem Zonasi Dalam PPDB 2017 Terlalu Terburu-buru

JAKARTA – Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mengapresiasi sistem zonasi yang diatur dalam Permendikbud Nomor 17 tahun 2017 mengenai Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) sebagai upaya pemerataan pendidikan.

Kendati demikian, Wasekjen FSGI Satriawan Salim menilai Mendikbud terlalu terburu-buru dalam menerapkan zonasi sehingga banyak kendala di lapangan.

“Zonasi itu bagus, kami mengapresiasi. Tetapi, datanya tidak valid. Di Gresik itu dari laporan jaringan FSGI, ada kecamatan yang tidak punya sekolah negeri,” ungkapnya kepada Okezone, baru-baru ini.

Ketiadaan sekolah negeri di kecamatan tersebut memaksa siswanya untuk menyebrang ke sekolah kecamatan tetangga. Padahal, ketentuan PPDB Online hanya menyisakan kuota sebanyak 5% untuk siswa dari luar kecamatan.

 Akibatnya, banyak dari mereka yang tidak tertampung dan harus bersekolah jauh dari tempat tinggal, atau memilih opsi sekolah swasta. Masalah ini yang kemudian dikeluhkan FSGI terhadap sistem zonasi yang terkesan tanpa persiapan.

“Artinya, kalau kebijakan ini mau diimplementasikan secara menyeluruh, tujuannya bagus. Tetapi harus ada dulu dong sekolah negeri di situ. Termasuk berapa jumlah sekolah yang negeri di situ. Kenyataannya, nggak ada. Si anak dipaksa untuk ke kecamatan tetangga. Nah, di aturan PPDB Online itu hanya 5%,” jelasnya.

Selain itu, tambah Komisioner KPAI Retno Listyarti, masalah zonasi tidak sebatas hanya kepada ketersediaan sekolah di suatu kecamatan. Baru-baru ini, ada siswa berprestasi, kurang mampu, dan dekat rumahnya dengan sekolah, tetapi tidak bisa bersekolah jenjang SMP karena melewati usia 15 tahun. Masalah ini seharusnya tidak terjadi, sebab menyalahi hak seorang anak untuk memperoleh pendidikan.

“Jangan sampai, aturan yang satu melanggar aturan yang lain yaitu Perlindungan Anak ini. Di UU 1945, setiap anak berhak untuk mendapatkan pembelajaran. Ketika anak ini miskin dan hanya bisa bersekolah di negeri tapi usianya tidak mencukupi, gimana? Sama saja dengan SD, dong?”

Sistem zonasi, menurut Retno, adalah hal yang baik sebab menghilangkan status sekolah ‘favorit’. Akan tetapi, tanpa perencanaan dan pemetaan yang baik, zonasi menimbulkan banyak masalah.

“Harusnya, selevel kementerian negara jangan terburu-buru. Andaikan, Menteri menerapkan 30% dulu, lalu dievaluasi. Supaya kesalahan tidak meluas dan korbannya tidak banyak. Setelah diperbaiki, 40%, lalu 70%. Di tahun ketiga, baru 100%,” tandasnya.

Exit mobile version