Jakarta – Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mendesak aparat penegak hukum untuk menuntaskan proses pidana dalam kasus kekerasan seksual yang terjadi di Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT), yang menimpa dua anak perempuan usia 15 tahun. Salah satu anak korban meninggal dunia setelah diduga mengalami kekerasan seksual dan tekanan psikis yang berat.
“Informasi yang didapatkan, meninggalnya korban anak tidak bisa dilepaskan dari mendapatkan perlakuan intimidasi dan kekerasan seksual yang mengakibatkan dirinya depresi dan ketakutan, ini bentuk kegagalan sistem perlindungan anak. Negara harus hadir dan menindak secara serius,” ucap Diyah Puspitarini Anggota KPAI, saat melakukan case conference melalui zoom meeting, pada Rabu (16/04/2025).
KPAI menekankan pentingnya proses hukum yang tidak berhenti pada sidang etik. Meskipun terduga pelaku telah diberhentikan tidak hormat dengan putusan Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) melalui sidang Komisi Kode Etik Polri (KKEP), hingga kini proses hukum pidana terhadap pelaku sampai saat ini belum berjalan maksimal.
“Proses penyelidikan mengalami sejumlah hambatan, terlepas belum adanya laporan formal dan ketidaksinkronan dalam keterangan saksi. Namun kepolisian akan terus berupaya untuk mengungkap kasus ini, sehingga tindakan yang dilakukan dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan undang-undang yang berlaku,” ujar Iptu Djafar Alkatiri, Kasat Reskrim Polres Sikka.
Sementara itu, Dian Sasmita, Anggota KPAI menyatakan bahwa proses hukum dalam kasus ini tidak bisa hanya berhenti pada sidang etik semata, tetapi perlu di dorong adanya pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku.
“Kasus ini harus bisa segera dituntaskan dan kami berharap adanya kolaborasi dalam pengungkapannya. Jika memang ada kendala penyelidikan, tentu KPAI mendukung untuk dilakukan Scientific Crime Investigation (SCI), sehingga tidak hanya melalui pengakuan,” lanjut Dian.
KPAI mengungkapkan bahwa korban yang masih hidup mengalami situasi psikis yang berat dan terancam. Oleh karena itu, negara wajib hadir untuk memberi perlindungan maksimal, termasuk penempatan di rumah aman dan pendampingan psikososial yang intensif.
Penanganan terhadap anak korban harus segera dilakukan melalui pendampingan dan perlindungan di rumah aman termasuk keluarga anak korban harus diedukasi agar mendukung proses hukum, bukan sebaliknya. Hak anak untuk mendapatkan perlindungan diatur jelas dalam sesuai pasal 59A Undang undang Perlindungan Anak” tambah Diyah.
Meski salah satu korban telah meninggal dunia, KPAI menekankan bahwa hak anak atas kejelasan penyebab kematian harus dijunjung tinggi, demi mencegah stigma negatif dari masyarakat.
“Pendekatan psikologi forensik dapat dilakukan bersama Asosiasi Psikologi Forensik Indonesia (Apsifor), agar terungkap kondisi psikologis korban sebelum peristiwa. Ini langkah penting untuk memastikan keadilan tetap hidup, bahkan setelah anak meninggal,” ungkap Diyah.
Dalam hasil case conference tersebut, KPAI menyampaikan enam rekomendasi untuk dapat segera ditindaklanjuti oleh pihak terkait, yaitu sebagai berikut:
- Penegakan hukum segera dilakukan melalui dengan membuat pelaporan kedua mengenai anak korban dengan pelanggaran Undang-Undang Pelindungan Anak pasal 76c junto 80 dan 76e junto 81, serta Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
- Meminta aparat penegak hukum untuk melakukan penegakan hukum dengan transparan dan berkeadilan.
- Memberikan rekomendasi kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk memberikan perlindungan kepada anak korban dan saksi.
- Pemerintah kabupaten Sikka diharapkan untuk dapat memberikan edukasi kepada masyarakat terhadap penanganan TPKS.
Pekerja sosial dapat segera diturunkan dan melakukan koordinasi dengan Apsifor mengenai psikologi forensik kepada anak korban yang sudah meninggal dunia.
Hak anak yang menjadi korban berhak mendapatkan perlindungan dan tidak mendapatkan stigma negatif dari masyarakat.Fakta bahwa Indonesia termasuk negara dengan angka bunuh diri anak tertinggi di Asia Tenggara menjadi peringatan serius bagi kita semua. Di balik setiap kasus, serting tersembunyi luka mendalam akibat kekerasan seksual, fisik maupun psikis yang dialami anak. NTT dengan sejumlah kasus di Sikka, Kupang, Timor Tengah Selatan, Sumba, hingga Manggarai menjadi salah satu wilayang yang mencerminkan uergensi perlindungan anak yang lebih kuat dan menyeluruh. (Ed:Kn)
Media Kontak Humas KPAI,
Email : humas@kpai.go.id
WA. 0811 1002 7727