POTRET KESENJANGAN PEMENUHAN KESEHATAN DALAM PERLINDUNGAN ANAK

Problematika Regulasi
Kesehatan merupakan hak asasi manusia yang telah dijamin oleh Konsitusi melalui amandemen Undang – undang Dasar 1945 pasal 28 huruf H ayat 1 : “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Menurut Pasal 44 ayat 1 UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak “Pemerintah wajib menyediakan fasilitas dan menyelenggarakan upaya kesehatan yang komprehensif bagi anak, agar setiap anak memperoleh derajat kesehatan yang optimal sejak dalam kandungan”.

Pasal 4, Undang – undang Nomor 36 Tahun 2009 menyatakan bahwa “setiap orang berhak atas kesehatan”. Kemudian Pasal 5 (1), menegaskan, “Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan”. Ayat (2), “Setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu dan terjangkau”. Ayat (3), “Setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya”. Selanjutnya Pasal 6, Pasal 6 “Setiap orang berhak mendapatkan lingkungan yang sehat bagi pencapaian derajat kesehatan”. Pasal 7 “Setiap orang berhak untuk mendapatkan informasi dan edukasi tentang kesehatan yang seimbang dan bertanggungjawab. Kemudian Pasal 8, “Setiap orang berhak memperoleh informasi tentang data kesehatan dirinya termasuk tindakan dan pengobatan yang telah maupun yang akan diterimanya dari tenaga kesehatan”.

Untuk mendapatkan derajat kesehatan yang optimal sesuai yang diharapkan, diperlukan upaya pemenuhan kesehatan secara terpadu dan menyeluruh baik melalui perseorangan maupun masyarakat. Sebagaimana Pasal 47 UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan bahwa “Upaya kesehatan diselenggarakan dalam bentuk kegiatan dengan pendekatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang dilaksanakan secara terpadu, menyeluruh, dan berkesinambungan”.

Berdasarkan data Susenas 2011 sebagian besar kelahiran di Indonesia ditolong oleh bidan yaitu sebesar 63,71 persen, sedangkan kelahiran yang ditolong oleh dokter hanya mencapai 16,88 persen lebih kecil dibandingkan kelahiran yang ditolong oleh dukun yang mencapai 17,34 persen. Baik di daerah perkotaan maupun di perdesaan, penolong kelahiran terbanyak adalah bidan yaitu sekitar 65,48 persen di daerah perkotaan dan 62,00 persen di daerah perdesaan. Selain oleh bidan, di daerah perkotaan sebagian besar kelahirannya ditolong oleh dokter (24,86 persen), sedangkan di daerah perdesaan ditolong oleh dukun (25,66 persen), (Susenas 2011).

Persentase balita yang mendapat ASI di Indonesia sudah cukup tinggi. Ini terlihat oleh banyaknya persentase balita yang pernah diberi ASI yaitu sebesar 94,94 persen dari seluruh balita di Indonesia dimana persentase balita perempuan sebanyak 95,22 persen dan laki-lakisebanyak 94,69 persen. Berdasarkan daerah, balita di daerah perdesaan lebih banyak menerima ASI dibandingkan balita yang ada di daerah perkotaan dengan perbedaan yang cukup signifikan dimana persentase balita di daerah perdesaan yang pernah diberi ASI ada sekitar 96,08 persen sedangkan di perkotaan 93,77 persen.

Data Susenas 2011 menunjukkan bahwa balita yang pernah diberi imunisasi pada tahun 2011 adalah sekitar 94,32 persen; dengan distribusi yang hampir sama antara pemberian imunisasi balita laki-laki (94,11 persen) dengan balita perempuan (94,54 persen). Berdasarkan daerah tempat tinggal, persentase balita di daerah perkotaan yang pernah diberi imunisasi lebih banyak yaitu sebesar 96,20 persen dibandingkan dengan balita di daerah perdesaan yang hanya sekitar 92,49 persen.

Tahun 2010, angka kematian bayi masih di posisi 35/1000 kelahiran hidup. (Profil Anak KPPPA 2012). Pada 2011, 81,25 persen balita di Indonesia lahir dengan pertolongan bidan, dokter maupun tenaga kesehatan lainnya, sedangkan di perdesaan masih ada 25,66 persen yang balita yang proses kelahirannya dibantu oleh dukun. Dalam hal pemberian ASI eksklusif, baru sekitar 40,25 persen anak berumur 2-4 tahun mendapatkannya. Imunisasi lengkap pada anak berumur 1-4 tahun baru mencakup 65,25 persen. (BPS-KPPPA Tahun 2011).

Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010, prevalensi Balita Kurang Gizi (BKG) pada tahun 2010 adalah sebesar 17,9 persen yang terdiri dari 4,9 persen gizi buruk dan 13 persen gizi kurang.

Hal tersebut menunjukkan bahwa layanan kesehatan yang komprehensif belum diakses oleh seluruh anak Indonesia, karena berbagai faktor diantaranya: faktor persepsi dan kesadaran masyarakat tentang pentingnya layanan kesehatan yang optimal bagi anak, faktor ekonomi yang mengakibatkan masyarakat tidak dapat mengakses layanan kesehatan, faktor infrastruktur terutama daerah yang mengalami kendala geografis, seperti; daerah pedalaman, daerah perbatasan serta daerah terpencil. Selain itu, juga faktor sumber daya manusia tenaga kesehatan yang belum merata serta masih terkonsentrasi di kota-kota besar. Dipihak lain juga faktor otonomi daerah yang belum memprioritaskan layanan kesehatan yang ramah anak serta komitmen pemerintah daerah yang rendah dalam pemenuhan layanan kesehatan yang berkualitas.

Masyarakat tidak mendapatkan haknya terkait layanan kesehatan. Pelayanan yang buruk, bahkan mal praktek, sehingga bukan sehat yang didapat melainkan berujung ke kematian.

Adapun beberapa problematika regulasi Layanan kesehatan yang ada dimasyarakat antara lain :
1. Pekerja anak jarang datang ke Puskesmas. Ketika masyarakat ada masalah atau terluka akibat tindak kekerasan, pekerja anak datang ke Puskesmas.
2. Masyarakat enggan untuk melapor apabila melihat kekerasan dalam lingkungan keluarga, karena mengganggap merupakan masalah keluarga dan masih bisa ditangani sendiri oleh mereka.
3. Pelayanan yang tidak komprehensif, dimana pelayanan kesehatan dirasakan masih belum mencakup di semua aspek pelayanan yaitu : promotif, preventif, kuratif, dan rehabiliatif.
4. Kebijakan layanan kesehatan lebih memprioritaskan pada aspek promotif dan rehabilitatif dibanding upaya promotif dan preventif.
5. Tingkat pengetahuan masyarakat terhadap kesehatan masih rendah meskipun kebijakan dari pemerintah sudah ada, hal ini disebabkan salah satunya adalah kurang sosialisasi dari pemerintah.
6. Kebijakan mengenai kesehatan telah banyak tersedia (PP ASI, PP Rokok, PP Gizi dan lain-lain) tetapi masing-masing berjalan sendiri. Diperlukan harmonisasi kebijakan baik ditingkat pusat maupun di daerah.
7. Akses anak untuk mendapatkan informasi tentang kesehatan masih terbatas sehingga perlu adanya sosialisasi tentang kesehatan baik melalui sekolah maupun di lingkungan masyarakat.
8. Pada saat pembuatan surat keterangan lahir, masyarakat sering tidak membawa buku nikah karena kurang mengerti persyaratan dalam pembuatan suat keterangan lahir dan lebih mengutamakan persalinan istri atau keluarga.
9. Seringkali petugas kesehatan tidak melaporkan adanya kekerasan yang terjadi terhadap pasiennya karena takut dijadikan saksi dan takut tersangkut dalam permasalahan tersebut ketika dibawa ke jalur hukum.
10. Petugas Puskesmas keberatan mengeluarkan Surat Keterangan Lahir apabila tidak membantu kelahiran bayi tersebut.
11. Tidak berjalan system rujukan terhadap pasien HIV AIDS sehingga penanganannya tidak berjalan dengan baik.

Desentralisasi Layanan Kesehatan
Desentralisasi dalam kerangka pembangunan kesehatan dimaksudkan untuk lebih mengoptimalkan pembangunan bidang kesehatan dengan cara lebih mendekatkan pelayanan kesehatan kepada masyarakat dan memperpendek jalur birokrasi pelayanan kesehatan untuk masyarakat.

Sistem desentralistik memberi kewenangan bagi daerah untuk menentukan sendiri program serta pengalokasian dana pembangunan kesehatan di daerahnya.

Hubungan yang bersifat desentralistik bermula dari yang tertuang dalam UU No.22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dan UU No. 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Definisi otonomi daerah menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan perundang-undangan. Kedua undang-undang tersebut lalu direvisi dengan dikeluarkannya UU No.32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dan UU No.33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah.
UU No. 32 tahun 2004 menyebutkan bahwa pemerintah daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Sedangkan pengertian tugas pembantuan ialah penugasan dari pemerintah kepada daerah untuk melaksanakan tugas tertentu.

Pemberian otonomi luas kepada daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Di samping itu melalui otonomi luas, daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah.

Otonomi Daerah di Indonesia dilaksanakan dalam rangka desentralisasi di bidang pemerintahan. Desentralisasi itu sendiri setidak-tidaknya mempunyai tiga tujuan. Pertama, tujuan politik, yakni demokratisasi kehidupan berbangsa dan bernegara pada tataran infrastruktur dan suprastruktur politik. Kedua, tujuan administrasi, yakni efektivitas dan efisiensi proses-proses administrasi pemerintahan sehingga pelayanan kepada masyarakat menjadi lebih cepat, tepat, transparan serta murah. Ketiga, tujuan sosial ekonomi, yaitu meningkatnya taraf kesejahteraan masyarakat.

Pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah pada dasarnya merupakan sarana bagi pemerintah daerah untuk mengurangi “jarak” dengan masyarakat yang dipimpinnya. Masyarakat dapat lebih berpartisipasi dalam kemajuan pembangunanan daerahnya sendiri serta dapat mengetahui hingga sejauh mana pemerintahnya mampu mempertanggungjawabkan kinerja pemerintahannya. Sehingga desentralisasi secara tidak langsung akan mengurangi tanggung jawab pemerintah pusat terhadap jalannya pembangunan. Pelayanan pemerintah kepada masyarakat dapat menjadi lebih baik jika dalam pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah pemerintah dapat melakukannya dengan terbuka, akuntabel,dan member ruang kepada masyarakat untuk turut berpartisipasi. Dalam bidang kesehatan, Indonesia telah melaksanakan desentralisasi sejak tahun 2001. Namun hingga saat ini pelaksanaan kebijakan desentralisasi belum mempunyai arah serta tujuan yang jelas.

Masih banyaknya rumah sakit yang menjual susu formula untuk ibu menyusui dan adanya iklan-iklan yang terpampang disuatu ruang pemeriksaan kesehatan di rumah sakit dengan menampilkan seorang ibu yang sedang menyusui anaknya menggunakan botol yang berisi susu formula.

Untuk pemberian visum bagi anak yang mengalami kekerasan masih terkendala dengan biaya visum itu sendiri meskipun sudah ada beberapa rumah sakit yang memberikan visum gratis bagi pasien, tetapi masih belum tersosialisasikan dengan baik karena masih banyak masyarakat yang mengeluh harus membayar visum padahal mereka merupakan korban dari suatu tindak kejahatan. Hal ini juga bisa dikaitkan dengan koordinasi antara pihak rumah sakit dengan aparat penegak hukum. Aparat penegak hukum seringkali mengeluh mengenai biaya visum dan transportasi mengantarkan korban ke rumah sakit karena terkait anggaran yang ada dipihak aparat penegak hukum.

Sosialisasi mengenai pemberian imunisasi bagi anak terkadang menemui kendala dimana masyarakat menolak pemberian imunisasi. Beberapa alasan menolak imunisasi, antara lain efek samping pasca imunisasi, seperti demam. Mereka menjadikan kejadian tersebut sebagai alasan untuk menolak pemberian kekebalan tubuh tersebut. Masyarakat beranggapan bahwa pemberian imunisasi tidak membawa dampak positif bagi anak dan ini tentunya diakibatkan kurangnya penjelasan yang lebih terperinci dari petugas kesehatan.

Dukungan Struktural Kebijakan
Dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) pada awal bulan Agustus 2007 yaitu PP 38/2007 dan PP 41/2007, maka Dinas Kesehatan semakin berkembang menjadi lembaga kesehatan yang mempunyai banyak fungsi yakni (1) sebagai pelaksana kegiatan, (2) semakin menjadi lembaga yang menyusun kebijakan dan peraturan di daerah berdasar standar nasional, memastikan aturan dijalankan, dan (3) membiayai pelayanan.

Kementerian Kesehatan memiliki beberapa program unggulan, yaitu Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) untuk mendukung pelaksanaan kegiatan operasional Puskesmas di lapangan, termasuk upaya promotif dan preventif; Jamkesmas untuk meningkatkan akses dan mutu pelayanan kesehatan seluruh masyarakat miskin dan tidak mampu; dan Jaminan Persalinan (Jampersal) sebagai jaminan pelayanan kesehatan reproduksi terpadu. Jampersal meliputi pelayanan antenatal, pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan, pelayanan nifas termasuk KB pasca persalinan dan pelayanan bayi baru lahir baik di tingkat primer untuk kasus normal, maupun pelayanan rujukan di kelas III RS untuk kasus komplikasi dan emergensi. Dengan adanya Jampersal, sekitar 2,8 juta sasaran yang belum mempunyai jaminan kesehatan/persalinan dapat dilayani.

Meskipun akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan semakin membaik, tetapi masih ditemukan disparitas derajat kesehatan antar wilayah, antar kelompok masyarakat, dan antar tingkat sosial ekonomi.

Infra Struktur Sarana Dan Prasarana
Keadaan kesehatan penduduk sangat didukung oleh ketersediaan sarana dan prasarana kesehatan. Keberadaan sarana dan prasarana kesehatan dapat digunakan untuk menelusuri kondisi kesehatan penduduk. Jika ketersediaan cukup lengkap diharapkan kondisi kesehatan penduduk juga akan baik. Sarana kesehatan meliputi Puskesmas, rumah sakit (rumah sakit umum dan rumah sakit khusus), sarana upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (UKBM), sarana produksi dan distribusi kefarmasian dan alat kesehatan, serta institusi pendidikan tenaga kesehatan. Jumlah Puskesmas di Indonesia tercatat dengan akhir tahun 2011 sebanyak 9.321 unit ( data Kementerian Kesehatan) dan jumlah rumah sakit pada tahun 2007 – 2011 sebanyak 1.721 unit (Ditjen Bina Upaya Kesehatan, Kemenkes RI, 2012).

Dalam menyediakan, mengoordinasikan dan mengintegrasi layanannya, sarana pelayanan kesehatan bergantung pada informasi tentang ilmu perawatan, tentang pasien itu sendiri, perawatan yang telah diberikan, hasil dari perawatan itu, dan kinerja sarana pelayanan kesehatan. Seperti layaknya sumber daya manusia, material dan keuangan, informasi merupakan sumber daya yang harus diolah secara efektif oleh pimpinan sarana pelayanan kesehatan. Setiap sarana pelayanan kesehatan berusaha memperoleh, mengolah, dan menggunakan informasi itu untuk meningkatkan kesejahteraan pasien serta kinerja sarana pelayanan kesehatan baik secara keseluruhan maupun individu.

Dalam hal prasarana terkait SDM khususnya tenaga medis masih kurang dan tidak merata (di Pulau Jawa lebih banyak dibanding daerah lain). Belum semua Rumah Sakit menerapkan / mengacu kepada struktur organisasi 983/1992 karena keterbatasan kualifikasi tenaga yang ada.

Rasio penyediaan SDM di Puskesmas sangat kurang mulai dari dokter, perawat dan KTA (hanya tersedia di Puskesmas tertentu), padahal Puskesmas merupakan ujung tombak dari pelayanan yang banyak tersebar diseluruh daerah di Indonesia.

Sistem mutasi juga menjadi penyebab kurang meratanya SDM di bidang pelayanan kesehatan. Seorang dokter atau perawat yang bertugas di daerah apabila dianggap telah menjalankan kewajibannya dengan baik maka akan dimutasi ke kota. Hal ini menjadikan suatu tempat yang letaknya jauh di pedalaman hanya menjadi batu loncatan untuk posisi yang lebih baik di kota. Transportasi, akomodasi serta biaya hidup di daerah terpencil juga menjadi kendala sehingga banyak petugas kesehatan yang tidak betah untuk tinggal disuatu daerah dan dianggap menjadi momok yang mengerikan apabila dokter atau perawat ditempatkan di suatu daerah terpencil.

Minimnya SDM juga menjadi dampak bagi jalannya Puskesmas, karena terkadang tenaga kesehatan merangkap tugas sebagai petugas administrasi.

Fasilitas Rumah Sakit/ Puskesmas yang belum sesuai dengan standar serta kecenderungan untuk memiliki alat canggih tanpa memperhitungkan efisiensi dan efektivitas. Sikap dan perilaku tenaga medis yang kurang mendukung system pelayanan medis maupun Rumah Sakit sebagai suatu sistem. Sikap dan perilaku pimpinan Rumah Sakit yang kurang tegas dalam pelaksanaan pelayanan medis. Pengawasan diperlukan terkait dengan minimnya sarana dan prasarana terutama untuk Posyandu.

Minimnya Anggaran Kesehatan
Minimnya Anggaran Kesehatan Berdampak Luas Pada Pelayanan kesehatan di Indonesia dan hal ini menimbulkan problem antara lain :
a. Perlunya Rujukan Puskesmas untuk jaminan pembayaran
b. Komitmen PEMDA dan DPRD dalam pemberian anggaran untuk isu kesehatan
c. Minimnya anggaran untuk program preventif
d. Sebanyak 60% pasien yang berobat ke rumah sakit bukan pasien rujukan
e. Adanya perbedaan kuota terkait obat-obatan yang dibutuhkan oleh pasien
f. System anggaran yang tidak berasal dari satu sumber / tidak terintegrasi.

Hak masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan terkait dengan hak untuk hidup. Anak yang menjadi korban kekerasan atau kecelakaan apabila dirujuk ke UGD tidak akan mendapatkan perawatan sebelum administrasi atau uang muka untuk biaya perawatan dilunasi terlebih dahulu karena terkait dengan obat-obatan yang dibutuhkan atau pelayanan yang diberikan tidak memadai. Bahkan pasien hanya ditempatkan di lorong rumah sakit dengan alasan ruangan penuh atau tidak ada tempat bagi pasien tersebut. Ada kasus dimana seorang anak menjadi korban keroyokan orang tidak dikenal. Anak itu dibawa ke rumah sakit dan ditempatkan oleh petugas kesehatan dilorong rumah sakit dengan alasan ruangan UGD penuh dan menunggu keluarganya datang. Keluarga anak tersebut datang, mengisi syarat-syarat administrasi dan segera petugas kesehatan memberikan perawatan. Namun sayang sekali nyawa anak tersebut tidak dapat diselamatkan karena lambannya petugas kesehatan memberikan pertolongan.

Timbul kesan dokter ataupun perawat hanya memberikan pelayanan kepada mereka yang mampu secara financial dan terkesan pelayanan yang bersifat komersil. Pelayanan yang diberikan terkadang tergantung dengan kelas atau ruangan yang ditempati. Semakin mahal harga ruangan yang ditempati maka semakin maksimal pelayanan yang diberikan. Terkadang pasien yang menjalani rawat inap harus ada salah satu anggota keluarganya yang berjaga-jaga untuk mengingatkan perawat menggantikan infus yang sudah habis. Petugas medis selalu beralasan sibuk keliling atau yang menjaga hanya sedikit.

Pemerintah dianggap belum mampu untuk memberikan pelayanan kesehatan yang memadai. Bagaimana bisa memberikan pelayanan yang memadai apabila anggaran yang disediakan tidak mencukupi atau tidak sesuai dengan jumlah penduduk Indonesia saat ini., meskipun telah begitu banyak ditawarkan kartu jaminan kesehatan namun tetap tidak mampu menjawab kesulitan yang dihadapi oleh masyarakat.

Kesenjangan Akses
Proporsi masyarakat Indonesia yang telah terjamin dalam skema asuransi kesehatan telah mencapai 63 %, hal ini merupakan capaian yang signifikan mengingat jumlah penduduk kita yang cukup besar. Berarti masih tersisa sekitar 88 juta masyarakat yang masih membayar sendiri bila memerlukan pelayanan kesehatan. Jumlah yang tidak kecil, bila dibandingkan dengan negara lain maka jumlahnya hampir sama dengan populasi penduduk negara Jerman. Jaminan yang tersedia di dalam masyarakat sangat beragam dengan variasi paket manfaat dan besaran premi. Sehingga sangat menarik untuk melihat sejauh mana kesenjangan antara masyarakat yang terasuransi dibandingkan dengan yang tidak memiliki jaminan, untuk mengakses fasilitas kesehatan. Maka analisis data Susenan 2011 dilakukan sebagai dukungan data.

Hasil yang diperoleh adalah sebagai berikut:
• Bagi pemegang Jamkesmas lebih jarang pergi ke pelayanan primer dibandingkan yang tidak memiliki asuransi, tetapi hampir 12 kali lebih mudah mengakses layanan rujukan atau rumah sakit dibanding yang tidak terjamin.
• Sedangkan bagi pemegang asuransi ASKES dan Jamsostek lebih sering 1,5 kali pergi ke pelayanan primer, serta 4 kali lebih sering akses ke rumah sakit.
• Sementara masyarakat yang terjamin oleh perusahaan memiliki kecenderungan yang sama dengan masyarakat yang belum memiliki jaminan untuk akses ke pelayanan primer, tetapi untuk pelayanan rujukan/rumah sakit 4,5 kali lebih sering.
• Peserta suransi swasta lebih sering akses ke pelayanan primer yakni hampir 11 kali dibandingkan yang tidak terasuransi, dan sekitar 2,5 kali lebih sering ke rumah sakit.

Exit mobile version