Selama ini setiap orang, mungkin berbeda-beda dalam menafsirkan arti nasionalisme. Bahkan setelah kemerdekaan tercapai, menyampaikan rasa nasionalisme pun dengan ekpresi yang beraneka rupa. Ada yang menunjukkannya dengan memasang bendera berukuran besar di halaman rumah, bendera mini di mobil atau motor, bahkan sekadar memasang pita merah putih di kepala, dan saat ini rasa kebanggaan nasionalisme muncul dari kecintaan terhadap olah raga salah satunya olah raga Sepakbola.
Sebenarnya kalo mau dilihat, setiap anak yang lahir disebuah negara sudah memiliki nasionalisme sejak dia sadar bahwa dia adalah warga suatu negara. Hanya saja di Indonesia kesadaran tersebut tidak terlalu nampak. Bagi penulis, nasionalisme anak bukanlah berdiri ditepi jalan menyambut rombongan presiden dengan bendera kecil ditangan, atau melakukan upacara setiap senin hingga beberapa anak pingsan, atau belajar menghapal semua pahlawan dari jaman ke jaman.
Coba kita lihat rasa nasionalisme yang lebih kecil, yaitu suporter bola. Jujur saja, bahwa kita bisa lihat seorang anak kecil bisa teriak kencang dan akan begitu bangganya kepada tim yang dia kagumi. Entah menang atau kalah. Bagi sang Anak, nilai kekagumannya didasarkan oleh lingkungan, pemain dan keterampilan tim itu, atau bahkan ada yang tidak tahu kenapa dia harus menjadi suporter tim sepakbola itu. “Nasionalisme” si Anak terhadap tim nya muncul ketika sedang bertanding.
Begitu juga dengan cakupan Indonesia sebagai sebuah negara. Kita tidak melihat anak-anak begitu bangga sebagai warga negara, dikarenakan, kita selalu membuat “pertandingan” antar suku, budaya, pulau, golongan, yang mana semua itu masih didalam satu kesatuan Indonesia. Coba ajak salah satu anak dari masing-masing provinsi, bukan untuk saling “bertanding” tapi “bertanding” dengan negara diluar Indonesia. Saya yakin anak-anak itu akan berteriak dengan sangat keras membela bangsa Indonesia.
Persoalan lainnya, mengapa anak – anak Indonesia tidak bisa mengekspresikan rasa nasionalismenya…??!, mudah saja, karena mereka tidak tahu apa yang harus dibanggakan, bukan karena tidak ada, tapi tidak tahu. Tidak tahu di sini lebih berupa dampak dari hal yang dibanggakan itu berpengaruh dia bisa memperoleh hak-nya atau tidak. Contoh: Undang-undang yang mengatur tentang perlindungan dan pemeliharaan anak oleh negara. Saya yakin hampir semua anak di Indonesia pernah tahu, namun karena tidak melihatnya sebagai hal yang nyata, mereka tidak bisa menjadikan hal tersebut sebagai suatu kebanggaan.
Diumpamakan anak adalah seperti spon, yang akan meresap informasi disekitar dengan cepat dan sesuai daya tampung. Tugas kita adalah menjaga harapan mereka agar rasa kebanggaan nasionalismenya bisa tetap tumbuh sesuai dengan harapan dan pemikiran mereka.
Berbahagialah Indonesia, kekhawatiran lunturnya nasionalisme di negeri ini sedikit terobati. Sepakbola menjadi alat baru penggugah nasionalisme bangsa. Untuk ke sekian kalinya, Stadion Gelora Bung Karno, Senayan- Jakarta, menjadi saksi suburnya nasionalisme yang justru diusung anak-anak muda bangsa ini.
Kerinduan bangkitnya nasionalisme itu pecah di Senayan. Jarang terdengar, lagu kebangsaan Indonesia Raya mendadak bergema dari mulut-mulut anak bangsa secara berjamaah. Tidak ada Jawa, tidak ada Sumatera, tidak ada Kalimantan, tidak ada Sulawesi, tidak ada Ambon, tidak ada Papua, yang ada adalah Indonesia. Inilah nasionalisme gaya baru, nasionalisme cara sepakbola. Sejenak kita nikmati kebangkitan nasionalisme yang dipupuk anak-anak bangsa yang membanggakan di lapangan hijau tersebut.
Bukan sekadar euforia semu. Nasionalisme cara sepakbola ini cukup menjadi pelajaran mahal sekaligus penting, untuk bangsa yang tercabik-cabik oleh berbagai kepentingan sesaat. Di sepakbola, bangsa ini bisa belajar banyak bagaimana putra-putra bangsa dari berbagai daerah, hanya mengaku anak Indonesia, tidak yang lain. Mereka berjuang tidak untuk politik A, agama B, atau suku C, putra-putra terbaik bangsa di Timnas hanya berjuang untuk Indonesia yang satu.
Jarang ada cara jitu mempersatukan bangsa dengan begitu dahsyat. Putra-putra bangsa di Timnas ibarat benih-benih nasionalisme yang memukau semua masyarakat dari Sabang sampai Merauke. Tidak bisa menyanyikan Indonesia Raya dan menonton pahlawan sepakbola di Senayan, saudara kita di Papua, Ambon, Aceh, Kalimantan dan semua daerah tetap histeris dan merasakan menjadi bagian dari bangsa Indonesia, meski dari layar televisi. Nasionalisme yang tumbuh singkat, hanya 90 menit, namun menjadi pelajaran abadi bagi bangsa Indonesia yang harus tetap dijaga dan dipupuk oleh bangsa ini.
Semoga harapan kita terhadap rasa nasionalisme tidak pudar begitu saja setelah pertandingan bola selesai, dan berharap tumbuh nuansa nasionalisme lain dengan cara yang lain pula tidak hanya dibidang sepakbola saja tapi bisa di semua bidang kehidupan, siapa pun presidennya, siapapun juaranya jika ingin menumbuhkan rasa nasionalisme perlu didukung dengan semangat kecintaan dan kebanggaan terhadap bangsa Indonesia. Kebanggaan Nasionalisme harus dipupuk sejak dini dan mulai ditularkan kepada anak-anak kita sebagai generasi penerus kelangsungan bangsa ini.