2 TAHUN JOKOWI-JK: Anak-Anak Masih dalam Cengkraman Predator Seksual

DUA tahun sudah Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla memimpin Indonesia. Namun, masih banyak persoalan yang harus diselesaikan. Utamanya, soal keseriusan pemerintah dalam melindungi anak-anak dari kekerasan seksual.

Anak-anak di negeri ini belum aman dari aksi predator seksual. Hampir saban hari, kasus kejahatan seksual terjadi di berbagai daerah di Nusantara. Pelakunya beragam, dari orang dewasa hingga anak-anak. Bahkan orang terdekat seperti orangtua, paman, tetangga, teman juga bisa jadi pelakunya.

Pada Kamis 13 Oktober 2016, dua remaja berinisial T dan R (13) mencabuli seorang balita di Pasar Nippon Siombak, Paya Pasir, Medan, Sumatera Utara. Aksi terjadi bermula saat kedua pelaku menonton film porno di ponselnya. Saat berpapasan dengan korban, pelaku yang sudah terangsang langsung menyeret balita itu ke semak-semak lalu melecehkannya.

Baru-baru ini, warga Jakarta Utara dihebohkan dengan terungkapnya kasus seorang guru ngaji berinisial S (28) mencabuli para muridnya di Koja. Pelaku merayu korban dan mengiming-imingi uang sebelum mencabulinya. Atas perbuatannya, S kini meringkuk di balik jeruji besi.

Beberapa waktu lalu, seorang dukun berinisial RM alias AD (35) memperkosa remaja berusia 15 tahun di Kosambi, Tangerang. Modusnya adalah pura-pura bisa menyembuhkan penyakit dialami korban. Pelaku sempat buron sebelum diringkus polisi.

Kasus kejahatan seksual terhadap anak juga banyak terjadi di Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Lembaga Perlindungan perempuan dan Anak (LP2A) mencatat, hingga September 2016 jumlah kekerasan seksual terhadap anak di Jombang mencapai 78 kasus, naik dibanding tahun lalu yang hanya 68 kasus.

Ketua LP2A Jombang, Sholahuddin mengatakan, 78 kasus kejahatan seksual yang didampingi pihaknya itu terdiri dari pemerkosaan, pelecehan seksual dan kekerasan dalam pacaran (KDP). Faktornya bermacam-macam. Lemahnya penegakan hukum jadi salah satu sebab tingginya aksi kekerasan seksual.

“Selama ini belum ada proses hukum yang bisa membuat para pelaku ini jera. Sehingga kasus serupa selalu mengalami peningkatan setiap tahun,” ujarnya kepada Okezone belum lama ini.

Awal April 2016, publik Tanah Air dikejutkan dengan peristiwa tragis yang menimpa Yuyun (14). Pelajar Kelas II SMPN 5 Padang Ulak Tanding, Bengkulu, itu tewas dibunuh. Mirisnya, sebelum dibunuh, korban diperkosa secara bergilir oleh 14 pemuda dengan kondisi tangan dan kaki terikat di kebun karet, sekira 500 meter dari rumahnya di Desa Kasubun, Kecamatan Padang Ulak Tanding, Kabupaten Rejang Lebong. Bahkan delapan di antara pelaku masih tercatat anak di bawah umur.

Kasus kematian Yuyun mengundang keprihatinan secara nasional. Rakyat menginginkan ada hukuman lebih berat kepada predator seksual yakni kebiri hingga hukum mati dan itu tak diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Anak yang sudah ada.

Atas dorongan publik, akhirnya Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengeluarkan Perppu Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak yang di dalamnya mengatur hukuman mati dan kebiri kimiawi bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Perppu ini sudah disahkan menjadi undang-undang.

Kasus kejahatan seksual di Indonesia cenderung meningkat. Komnas Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebutkan, dalam kurun Januari hingga Agustus 2016, sedikitnya 500 kasus kejahatan seksual terhadap anak terjadi di nusantara.

“Hanya di akhir 2015 sedikit menurun, akibat syok terapi akan diberlakukannya perppu yang di dalamnya terdapat hukuman kebiri, tapi itu hanya sesaat,” ujar Ketua KPAI Asrorun Niam.

Ia mengapresiasi pengesahan Perppu Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak menjadi UU. “Instrumen hukumnya sudah dibuat, tinggal bagaimana implementasi di dalam praktik penanganan, khususnya dalam pendekatan hukumnya. Karena pengesahan perppu menjadi UU ini hanya salah satu jawaban,” imbuhnya.

Asrorun tak melihat UU tersebut sebagai satu-satunya solusi di tengah tingginya aksi kejahatan seksual terhadap anak. Menurutnya, payung hukum itu hanyalah salah satu wujud komitmen pemerintah di dalam pencegahan dan penanganan kejahatan terhadap anak.

“Kita tidak bisa menyatakan setelah diundangkannya perppu, masalah selesai. UU ini hanya salah satu jawaban atas keberulangan tindak kejahatan seksual yang tidak menimbulkan efek jera. Sehingga adanya UU diharapkan muncul efek jera. Baik bagi calon pelaku maupun mereka yang sudah dihukum agar tidak mengulangi perbuatannya, karena hukuman yang sangat berat,” ujar dia.

Menurutnya, masih banyak hal mesti dilakukan pemerintah, baik dalam menelurkan regulasi mendukung diimplikasikannya UU tentang Perlindungan Anak. Selain itu, pemerintah juga harus mendorong upaya-upaya pencegahan.

“PR (pekerjaan rumah) hari ini adalah menindaklanjuti keputusan politik, perang terhadap kejahatan seksual ini ke dalam langkah nyata. Kita lihat nanti, apakah pengesahan UU ini akan bisa menjadi tune up bagi pencegahan dan penanganan para pelaku kejahatan seksual,” tandasnya.

Ketua LP2A Jombang, Sholahuddin, menilai penegak hukum belum serius dan tegas menindak pelaku kejahatan seksual. Bahkan, dalam kurun beberapa bulan terakhir, penanganan kasus kejahatan seksual terhadap anak di Jombang dinilai mundur.

“Ada tingkat kegamangan yang dilakukan penyidik. Faktor ragu-ragu pada aparat untuk langsung menindak, ini sangat terlihat jelas. Sepertinya, ada kekhawatiran penyidikannya akan dipraperadilankan,” terangnya.

Sholahuddin mencontohkan, kasus pemerkosaan murid SD berinisial EM (13) di Kecamatan Wonosalam, Jombang. Hingga kini, polisi baru menangkap satu dari lima pelaku yang ditetapkan sebagai tersangka pada 30 Juni 2016. Empat tersangka lainnya kabur karena polisi tidak segera mengambil tindakan pasca-dilaporkannya kasus itu.

Kasus lain yang disorot adalah tidak ditahannya oknum polisi pamong praja Jombang berinisial SU (33) yang menjadi terdakwa pencabulan siswi Kelas IX asal Kecamatan Jogoroto, Jombang, berinisial RA. “Padahal kasusnya sudah disidangkan, namun sampai sekarang tersangka tidak ditahan. Inilah yang kami sebut kegamangan,” paparnya.

Menurutnya, pengadilan juga masih cenderung menghukum ringan penjahat seksual. Padahal, dalam UU Nomor 35 Tahun 2015 tentang Perlindungan Anak, hukuman bagi terdakwa kejahatan seksual anak paling sedikit lima tahun.

“Tapi, masih banyak juga hakim yang memberikan vonis di bawah tiga tahun kepada para pelaku kejahatan seksual,” jelasnya.

Dengan disahkannya UU Perlindungan Anak yang baru, anak-anak Indonesia diharapkan mendapat perlindungan dari aksi kekerasan seksual yang kian mengancam generasi bangsa.

“Pemerintah harus segera mengintruksikan kepada jajaran samping, yakni Polri, kejaksaan dan juga pengadilan, untuk menerapkan produk hukum itu. Jangan sampai para korban kejahatan seksual tidak mendapatkan keadilan seperti yang selama ini terjadi,”

Exit mobile version