Jakarta, – Pada 2024, KPAI telah melakukan pengawasan terhadap isu Klaster Perlindungan Khusus Anak (PKA). Isu-isu dalam PKA mencakup kekerasan pada anak, perundungan, Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), eksploitasi anak seksual/ekonomi, anak dan terorisme, bunuh diri anak, efek kejahatan digital pada anak dan pekerja anak. Pengawasan di Sub Klaster PKA telah dilakukan 44 lokasi, masalah terbanyak di Klaster PKA adalah isu Anak Korban Kejahatan Seksual, dengan 211 kasus (12,9%) menurut Data Pengaduan KPAI hingga Oktober 2024.
Berdasarkan data dari Survey Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) 2024, prevalensi kekerasan terhadap anak meningkat antara 2021 hingga 2024, baik untuk anak laki-laki maupun perempuan, dalam bentuk kekerasan fisik, emosional, dan seksual. Meskipun terjadi penurunan angka kekerasan sejak 2018, data menunjukkan kekerasan terhadap anak masih menjadi masalah serius. Dalam pengawasan KPAI, anak-anak yang paling sering menjadi korban dalam 3 tahun terakhir adalah korban kekerasan fisik, psikis, dan seksual, serta anak-anak yang membutuhkan perlindungan terkait lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif.
KPAI, dalam Rakornas hari kedua pada, Rabu (20/11/2024) membahas tentang hasil pengawasan terhadap berbagai isu dalam klaster PKA. Dimulai dari paparan tentang Pengawasan eksploitasi dan TPPO pada anak oleh Ketua KPAI, Ai Maryati Solihah dengan penanggap Brigjen Pol. Desy Andriani, Direktur Tindak Pidana Perempuan dan Anak (PPA) dan Pidana Perdagangan Orang (PPO); Pengawasan Anak Korban Jaringan Terorisme oleh Anggota KPAI, Margaret Aliyatul Maimunah dengan penanggap Dionnisius Elvan Swasono, Direktur Kerjasama Regional dan Multilateral BNPT; Pengawasan Anak korban kekerasan di ruang digital oleh Anggota KPAI, Kawiyan dengan penanggap Molly Prabawaty, Staf Ahli Menteri bidang Komunikasi dan Media Massa; menyoal UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak “Ketersediaan, Aksesibilitas dan Inklusivitas bagi Anak“ oleh Anggota KPAI, Dian Sasmita dengan penanggap Sukaca, Plt. Direktur Produk Hukum Daerah, Ditjen Otda Kemendagri; Upaya Perlindungan Anak Korban Kekerasan Pada Kondisi Anak Rentan oleh Anggota KPAI, Diyah Puspitarini dengan penanggap Nova Dwiyanto Suli, Plt. Direktur Rehabilitasi Sosial Anak Kemensos; Pengawasan hak anak wilayah 3 T oleh Anggota KPAI, Sylvana Maria dengan penanggap Dewi Yuliani, Direktur Perencanaan Teknis Pembangunan Desa dan Perdesaan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi
Di ranah regulasi, keberadaan UU No. 12/2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) memberikan ruang untuk penguatan perlindungan anak dan keluarga Indonesia. UU Perlindungan Anak juga menjamin hak anak untuk hidup, tumbuh, dan berkembang secara manusiawi, tanpa diskriminasi atau kriminalisasi terhadap profesi atau kelompok tertentu. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas hidup anak-anak, memperkuat indeks pemenuhan dan perlindungan anak, serta mengurangi angka kekerasan terhadap mereka.
Di sisi perlindungan khusus anak, KPAI terus mengedepankan perlindungan anak dari kekerasan, eksploitasi, penelantaran, perkawinan anak, serta tindakan salah lainnya, dengan upaya konkret seperti mencegah perkawinan anak dan menghapus pekerja anak.

Dalam paparannya, Ai Maryati Solihah, menyatakan bahwa tren kenaikan kasus dalam klaster perlindungan khusus cenderung meningkat. Berdasarkan Data Pengaduan KPAI 2021-2024, tercatat sejumlah 303 kasus anak korban eksploitasi ekonomi dan/atau seksual, serta 128 kasus anak korban penculikan dan/atau perdagangan orang. Ia menekankan bahwa fenomena ini menunjukkan urgensi yang semakin besar untuk memperkuat perlindungan terhadap anak, baik melalui penegakan hukum yang lebih efektif maupun penyediaan layanan rehabilitasi yang terintegrasi baik rehabilitasi Kesehatan, rehabilitasi psikososial, pemulangan dan reintegrasi anak korban Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Eksploitasi berbasis pemenuhan hak anak, lanjutnya.
Berbagai pengawasan isu dalam klaster Perlindungan Khusus Anak menjadi bahasan dalam rakornas hari kedua. Pengaduan KPAI mencatat Kasus Anak korban Kejahatan Seksual yang diadukan berjumlah 211 Kasus dengan 251 korban dan untuk kasus ABH sebanyak 22 kasus.
Sejalan dengan data tersebut, keberadaan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) menjadi sorotan KPAI. Pusdatin KPAI, 2024 mencatat empat dari 38 provinsi di Indonesia, yaitu Provinsi Papua Barat Daya, Papua Pegunungan, Papua Tengah, dan Papua Selatan, belum memiliki UPTD PPA. Selain itu, sekitar 35% UPTD PPA (sebanyak 181 kabupaten/kota) belum tersedia dari total 514 kabupaten/kota di Indonesia.

Sehingga, secara keseluruhan, kurangnya UPTD PPA di beberapa provinsi dan kabupaten/kota dapat memperburuk kondisi perlindungan anak, menghambat penanganan kasus, dan menciptakan ketimpangan layanan di berbagai wilayah, tutur Dian Sasmita dalam paparannya.
Anak-anak yang menjadi korban kekerasan sering kali tidak melaporkan kasus yang mereka alami karena kurangnya pengetahuan mengenai tempat atau pihak yang harus dihubungi.
UPTD PPA masih belum tersedia secara merata di setiap kabupaten/kota, sehingga penanganan anak dilakukan oleh staf dari bidang perlindungan anak di dinas terkait, dengan dukungan anggaran yang terbatas. Hal ini menyebabkan korban masih dibebani biaya visum, antara lain, tutur Dian.
Selain itu, tenaga profesional seperti psikolog, pekerja sosial, dan pengacara belum tersedia di semua UPTD PPA. Alokasi anggaran APBD untuk penanganan kasus di UPTD PPA dan dinas yang belum memiliki UPTD PPA juga masih kurang memadai, terutama di wilayah luar Pulau Jawa.
Meskipun permintaan dukungan Dana Alokasi Khusus (DAK) Non Fisik untuk UPTD PPA cukup tinggi, namun distribusinya belum merata. Perspektif dan komitmen yang lemah dari pemimpin daerah menghambat proses penyusunan regulasi untuk pembentukan UPTD PPA, padahal syarat untuk mengakses DAK NF adalah keberadaan UPTD PPA. Selain itu, banyak UPTD PPA yang masih membatasi layanan hanya untuk anak korban, tanpa memberikan dukungan kepada anak yang menjadi saksi atau anak yang berkonflik dengan hukum, tegas Dian.
Selanjutnya, beberapa rekomendasi yang disepakati dalam rakornas ini akan dikoordinasikan dan dikomunikasikan secara khusus kepada Kementerian/Lembaga serta Pemerintah Daerah untuk ditindaklanjuti sebagai wujud komitmen kementerian/lembaga dan Pemerintah Daerah dalam upaya perlindungan anak di Indonesia.
Harapannya, kita semua dapat meningkatkan komitmen bersama stakeholder atas permasalahan strategis dalam penyelenggaraan pemenuhan hak dan perlindungan khusus anak di Indonesia, sebagai upaya mempercepat strategi pelaksanaan tindak lanjut untuk memastikan tercapainya target menuju Indonesia Emas di bidang Perlindungan Anak, pungkas Ai. (Kn)
Media Kontak Humas KPAI,
Email : humas@kpai.go.id
WA. 0811 1002 7727